Mega memicingkan matanya ke arah Jingga, "Maksud lo bilang Tante Felya kayak gitu apa?"Jingga sesaat bingung mau menjelaskan apa kepada Mega, karena ia tidak mau Mega ikut andil dalam masalahnya kali ini. "Pintu gerbangnya udah mau ditutup, lebih baik sekarang lo turun." Jingga berusaha berbicara selembut mungkin setelah mengedarkan pandangan ke segala arah.
Mega tahu Jingga kini sedang ingin mengalihkan pembicaraan. Tapi tak urung ia melirik sekilas ke luar jendela mobil. Benar perkataan Jingga, satpam sekolahnya sudah meneriaki murid-murid yang berjalan lelet di pelataran sekolah, itu tandanya pintu gerbang akan segera ditutup. Tapi sekarang ia begitu penasaran dengan jawaban Jingga.
"Gue enggak bakal turun, sebelum lo jawab pertanyaan gue."
Jingga menggeram sebal, kenapa ia lupa kalau Mega tidak akan menyerah sebelum mendapatkan apa yang dinginkan. Ia memutuskan keluar dari mobil menuju pintu penumpang yang berada di samping cewek itu dan membukanya pelan, "Cepat turun Mega, sebentar lagi bel masuk bunyi. Lo mau di hukum karena telat?" tanyanya lembut.
Mega tersenyum manis, "Nggak masalah, 'kan ada lo yang nemenin gue dihukum kayak kemarin."
"Hari ini gue nggak berangkat sekolah," ucap Jingga menyayangkan.
"Kok? lo nggak sakit ataupun pergi, jadi nggak ada yang menghalangi lo berangkat sekolah. Lagian sekarang lo sudah sampai di sekolah."
"Gue nggak mau nambahin catatan gue di Bu Riris karena gue berangkat sekolah pakai baju bebas. Gue juga nggak bawa tas," terang Jingga dengan menyebutkan nama salah satu guru BK di sekolah yang hampir setiap hari ia datangi ruangannya.
Mega mencari kebenaran. Ia menyapukan pandangan ke tubuh Jingga, cowok itu benar-benar memakai baju casual yang sejak tadi tidak disadarinya karena tertutup oleh hoodie dan jeans berwarna putih yang menyerupai bawahan seragam batik sekolah mereka hari ini. Samar-samar ia mengembuskan napas berat. Sebelum akhirnya ia berjalan menuju pintu gerbang sekolah yang sudah ditutup setengah.
Setelah satu langkah memasuki lingkungan sekolah, Mega menoleh ke belakang. Dan saat bersamaan, mobil yang mengantarkannya mulai melaju membelah jalanan. Ia terkesiap, mobil itu bukan milik Jingga. Sekalabat ingatan tentang semalam mendukung pemikirannya. Jingga semalam pergi mengunakan vespa putihnya dan cowok itu belum pulang.
Jadi mobil milik siapa yang Jingga pakai? Dan dari obrolan tadi Mega bisa menangkap bahwa Jingga enggan membahas kedua orangtuanya. Apa cowok itu sedang ada masalah dengan orang tuanya?
Mega berdecak kesal. Jingga benar-benar menyebalkan telah membuat kepalanya pening karena penasaran. Awas saja, ia akan menuntut tanggung jawab saat bertemu Jingga nanti.
🌌🌞🌌
"Mega, kamu keberatan menuliskan jawabanmu ke papan tulis?" tanya guru bertubuh ramping itu yang terakhir kali Mega lihat sedang sibuk menilai ulangan fisika minggu kemarin, kini sudah berdiri di sentral kelas dan menatap penuh ke arahnya. Begitu juga dengan teman-teman sekelasnya.
Seketika Mega menjadi gugup sekaligus bingung. Apa sejak tadi ia melamun?
"Gimana Mega? Kamu belum mencoba mengerjakan?" Bu Eliz, guru fisika kembali bertanya kepada Mega.
Mega tersenyum kikuk, "Be-belum Bu."
"Kalau belum, kamu mengerjakan langsung saja di papan tulis. Saya yakin pasti kamu bisa, tiga kali berturut-turut ulangan fisikamu mendapat nilai tertinggi," ucap Bu Eliz lebih seperti memerintah.
Walaupun merasa keberatan, Mega menyanggupi. Dengan langkah pelan tapi pasti ia maju kedepan. Meraih spidol yang terasa dingin di tangannya. Sesaat ia memperhatikan soal-soal yang tertulis rapi di papan tulis. Ia menghela napas lega, menyadari materi ini sudah sempat dipelajarinya tadi malam--lebih tepatnya saat ia ingin melupakan sikap Jingga yang tiba-tiba berubah menjadi dingin. Setidaknya hatinya yakin, ia bisa mengerjakan dengan benar.
"Mega, kamu kerjakan sampai nomor tiga saja yang lain biar temanmu." sela Bu Eliz sebelum Mega mulai membubuhkan sederetan rumus di papan tulis.
"Iya Bu."
Tak selang lama, suara Bu Eliz kembali menggema di kelas XI IPA 2, membuat tangan Mega yang sibuk menarikan spidol di atas permukaan putih papan tulis terhenti. "Ada yang tahu kenapa hari ini Jingga tidak berangkat?"
"Mungkin murid kesayangannya Ibu yang ada di depan tahu. Dia 'kan pacarnya Jingga," teriak Akay, anak yang termasuk biang onar di kelasnya.
Mega yang mendengar itu, memicing ke arah Akay. Cowok itu langsung memasang raut takut yang di buat-buat, membut Mega justru merasa curiga. Dan benar saja, beberapa detik kemudian Akay kembali berbicara. Kali ini dengan suara yang terdengar memelas, "Jangan marah dong Mega, gue 'kan nggak bocorin kalau cowok lo bolos." setelahnya tawa penghuni kelas--kecuali Bu Eliz dan Mega terdengar, mencairkan ketegangan yang beberapa detik lalu tercetak jelas di wajah mereka.
"Sudah, sudah, semuanya tenang. Mega ?"
Merasa namanya dipanggil oleh Bu Eliz, Mega menengok ke tempat di mana guru itu berada, "Iya bu ada apa?"
"Apa benar Jingga membolos?" ternyata bu Eliz termakan omongan Akay.
Mega berpikir sejenak, apa ia harus mengiyakan? Tapi ia tidak tega melihat Jingga di hukum ketika berangkat besok. "Saya tidak tahu Bu," jawabnya seraya mendekati guru itu untuk menyerahkan spidol, karena ia sudah selesai mengerjakan tiga soal.
"Ya sudah. Lain kali kalau kamu tahu Jingga mau membolos, tolong di cegah ya. Biasanya cowok akan nurut sama cewek yang berharga untuknya. Dan kalau ada waktu senggang, kamu ajak Jingga belajar bareng. Sebentar lagi ulangan kenaikan kelas," ucap Bu Eliz yang secara tidak langsung sudah menganggap Mega dan Jingga ada hubungan.
Mega mengangguk, "Iya bu. Tapi, saya tidak memiliki hubungan dengan Jingga." ia berusaha mengelak. Ini semua gara-gara Akay. Lihat saja, ia akan memberi perhitungan kepada cowok itu.
"Kalau kamu bisa membawa pengaruh positif untuk Jingga. Menurut saya tidak masalah kalian memiliki hubungan. Asal tidak kelewat batas."
Mega memasang senyum dipaksakan sebelum ia undur diri dari hadapan Bu Eliz dan kembali ke bangkunya.
🌌🌞🌌
Happy reading ^^
KAMU SEDANG MEMBACA
Semburat Jingga
TienerfictieBagi Jingga, Mega adalah kanfas putihnya. Tempat ternyamanya melukiskan senyum juga berbagi kehangatan melalui semburat fajar maupun senja. Namun, tidak dengan Mega yang menganggap Jingga hanyalah teman yang setia bersamanya menyusuri lorong panjan...