Semburat 15

39 2 0
                                    

Setelah beberapa menit terpaku dalam keterkejutannya, kesadaran kembali menghampiri Mega. Seketika ia merasa bersalah karena telah mencuri dengar perdebatan Jingga dengan orang tuanya, meski tanpa sengaja.

Baru saja Mega akan beranjak pergi, gadis berseragam putih biru yang sejak tadi duduk diam di samping Tante Felya menyadari kehadirannya dan tak lama kemudian memanggilnya dengan ceria. Perdebatan pun terhenti, diikuti oleh empat pasang mata yang kini menatap ke arahnya.

Mega hanya menyengir kuda, berusaha untuk menutupi kegugupannya karena kepergok, lantas menyapa balik gadis itu yang merupakan adik Jingga, "Hai, Joana."

"Pagi, om, tante." Mega mengaguk sopan kepada orang tua Jingga setelah menghampiri meja makan.

"Pagi juga, Mega. Yuk duduk, terus langsung sarapan biar nggak telat ke sekolahnya," balas Tante Felya ramah seraya mengambilkan makanan untuk Mega, tanpa bisa ia cegah. Sedangkan Om Rama, papa Jingga hanya tersenyum tipis.

Mega mendudukkan dirinya di samping Jingga, "makasih, tante," ujarnya tersenyum sungkan menerima piring yang sudah berisi nasi dan lauk dari Tante Felya.

Di tengah sarapan yang tak banyak diisi obrolan, Jingga mendekatkan bibirnya ke telinga Mega yang masih mengunyah dan berbisik cepat, "Gue nggak disapa."

Mega mengacuhkannya, sebisa mungkin ia berusaha untuk tidak tersenyum geli mendengar suara Jingga yang datar tapi sarat akan rasa kesal.

"Lo masih marah soal semalam." Jingga kembali berbisik. Sepertinya, cowok itu tidak akan berhenti sebelum Mega menanggapinya. Tetapi, lagi-lagi tidak ada balasan.

"Ehem, yang dari tadi bisik-bisik kok tambah pait gitu mukanya? Pasti dikacangin sama mbaknya nih," Joanna mengering jahil ke arah kakaknya, begitu juga dengan orang tuanya yang sejak tadi mengamati interaksi sepasang sahabat itu.

"Enggaklah, Mega mau nanggepin kok, cuma nanti. Biar Miss kepo kayak kamu nggak denger," alibi Jingga, tak terima.

Joanna hanya mengangguk menyebalkan, membuat Jingga melayangkan sendok bekas ia makan hingga mengenai bandana yang digunakan adiknya.

"Ih, kakak jorok." Joanna bergumam kesal seraya melepaskan bandananya dan melemparkannya kasar ke Jingga.

"Jingga, Joanna, udah! Berhenti lempar-lemparan!" Suara berat Om Rama menginterupsi gerakan Jingga yang sedang mencari barang untuk membalas Joanna.

"Mega, kamu sarapannya sudah selesai 'kan?" Mega mengangguk pelan. "Emm-kalau gitu tolong ya ajak Jingga berangkat sekarang aja, sebelum terjadi perang." Mengerti maksud ucapan Tante Felya, Mega berpamitan dan memaksa Jingga untuk melakukan hal yang sama, lantas menarik cowok itu agar segera beranjak.

Sesampainya di ruang tamu, Jingga melepaskan tangan Mega dari lengannya dan berlalu mendahului cewek itu tanpa mengucapkan apapun. Memang tidak ada yang aneh, tetapi entah mengapa Mega merasa sebaliknya.

"Jingga," panggilnya, menghentikan langkah Jingga sebelum mencapai pintu. Meski Jingga tidak menoleh, ia tetap melanjutkan apa yang ingin diucapkannya, "good morning."

Diam-diam bibir Jingga mengulas senyum samar, lantas berbalik dan kini gilirannya yang menarik Mega keluar. Mereka berdua tertawa bersama, melepaskan kekesalan yang mengganjal hati masing-masing.

🌌🌞🌌

"Ga."

Jingga hanya bergumam dengan pandangan yang tetap tertuju pada hilir mudik kendaraan di bawah sana. Melihat itu, Mega mencebikkan bibirnya kesal. Tahu akan diabaikan gini, ia pasti tadi tidak akan memaksa ikut Jingga ke  rooftop dan mengorbankan waktu istirahatnya hanya untuk menemani cowok itu melamun. Tapi, lagi-lagi malaikat dalam hatinya mengingatkan tujuan awalnya; mengawasi Jingga agar tidak merokok dan menanyakan sesuatu yang sebenarnya ia sendiri tahu jawabannya.

"Setelah lulus nanti, lo mau kuliah di luar negeri ya, Ga?" Memilih tidak membuat perhitungan kepada Jingga yang telah mengabaikannya, Mega bertanya seraya mengamati wajah Jingga dari samping yang dibingkai rambut acak-acakan karena tertiup angin.

Seketika Jingga mengalihkan pandangannya hingga saling berserobok dengan manik mata milik Mega, "Lo tau darimana?"

Ditanya seperti itu, tanpa sadar Mega menggaruk rambutnya yang sebenarnya tak gatal, bingung mau jujur atau tidak. "Ehm ... ta-tadi pagi gue nggak sengaja denger waktu lo lagi 'ngomong serius' sama orangtua lo."

Bukannya marah, Jingga justru tertawa, padahal tidak ada yang lucu dari ucapan Mega. "Ngomong serius banget nih, Meg?"

Mega mengangguk ragu, karena sebenarnya ia juga tak yakin dengan pemilihan katanya itu.

"Menurut gue nggak ada 'ngomong serius' yang pake marah-marah kayak tadi pagi," sangkal Jingga, dengan raut yang begitu mengesalkan.

Sadar jika sedang dikerjai Jingga, Mega seketika melupakan rasa malunya dan menoyor kepala lelaki itu pelan. "Terserah lo deh mau nganggep debat tadi pagi itu apa, tapi bener lo mau kuliah di luar negeri?"

Jingga menegadah menatap langit yang siang ini tidak begitu terik, lantas mengedikkan bahunya.

"Kalo lo nggak mau ya jangan dipaksain, meski orangtua lo ngebet banget. Ngejalanin sesuatu yang nggak sesuai hati, sulit untuk mencapai kata selesai."

"Lo doain gue jadi mahasiswa abadi?!" tanya Jingga seraya membelalakkan matanya ke arah cewek yang ada di sebelahnya.

Mega berdecak tak suka dengan sikap dramatis Jingga yang sebenarnya tau arti maksud ucapannya. "Sok nggak paham lo. Gue doain beneran bau tau rasa lo."

"Iya, nggak papa kok kamu doain aku yang kelak jadi suami idaman kamu," ucap Jingga dengan suara yang dilembut-lembutkan dan tatapan usil yang tak terlewatkan.

"JIJIK, JINGGA!!!" serunya meraup muka Jingga, lantas meninggalkan cowok itu dengan terburu-buru. Sedangkan Jingga hanya tertawa puas, karena berhasil membuat Mega kesal.

"Lo nggak tau aja Meg, kalo doa itu yang selalu gue panjatkan," Ujar Jingga pelan setelah tawanya mereda.

🌌🌝🌌

Finalllyyyyy, seneng banget bisa update, meski yang baca belum banyak.
Semoga kalian juga seneng ya baca cerita yang belum sempurna dan masih pendek iniii.

Thank you :')))





Semburat JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang