Bagian 9

111 35 15
                                    

Tiba-tiba muncul aja dari balik tembok. Udah kayak monster titan dari Attack On Titan aja

  "Sssttt, Lenata!"

     Lenata mencari suara desisan pelan yang memanggil namanya, namun pencariannya nihil. Di sekitar, iris matanya tak menangkap ada orang sama sekali. Di jam-jam sekarang ini juga pasti tidak mungkin ada murid di sini, karena ini waktunya jam pelajaran. Andaikan saja sekarang bukan jam pelajaran untuk apa ada anak yang berkeliaran di dekat gudang belakang sekolah. Kardus berisi lembar-lembar kertas buram bekas yang tengah dibawa Lenata saat ini menjadi alasannya menuju gudang.

     Sepi. Satu kata yang menggambarkan kondisi saat ini. Jalan menuju gudang tidak melewati koridor-koridor kelas ataupun tempat lain yang ramai. Hanya melewati gedung samping sekolah untuk sampai kesana.

     Pagi hari yang cerah, matahari bersinar tidak terlalu panas, cahayanya relatif hangat menyentuh kulit. Angin yang berhembus sekali menerpa dirinya langsung membuat bulu kuduknya berdiri. Kakinya berhenti melangkah karena suara itu. Tubuhnya berputar mencari asal suara tersebut.

  "Pagi-pagi gini mana ada hantu, salah denger pastinya nih," ucap Lenata menghibur dirinya sendiri.

     Tak mau berpikiran aneh-aneh, Lenata mengambil sisi positif thinking saja dan melanjut langkahnya.

  "Enggak salah denger."

Deg

     Tangannya memeluk erat kotak yang dibawa, matanya terpejam sebelah.  Tubuhnya diam membatu, kali ini dengan jelas ia mendengarnya,  mendengar suara itu, lagi!

  "Hantu jangan gangguin Lenata, ya. Lenata anak baik, kok. Biarin Lenata lewat ... ya," ucap Lenata ketakutan. Badannya sudah gemetar.

     Dari kecil sampai sekarang salah satu ketakutan yang paling mendominan pada dirinya adalah rasa takut pada tempat gelap dan hal-hal yang berbau horor. Padahal usianya sendiri sudah menginjak tujuh belas tahun masih takut dengan hal semacam itu.

  "Mana ada hantu ganteng kayak gue. Gausah alay deh lo."

     Lenata memutar tubuhnya pelan ke samping kanan. Kali ini kepalanya mendongak ke atas bagian tembok yang membatasi sekolah dengan wilayah luar. Kini iris matanya menangkap sosok Devan  yang terlihat sedang memanjat tembok itu untuk masuk ke dalam. Tangan Devan terlipat menempel di atas tembok guna menopang kepalanya. Di bagian tembok itu tidak seperti tembok lainnya, tidak adanya kawat besi untuk mencegah adanya seseorang yang membobol masuk ke dalam sekolah sama halnya yang Devan lakukan.

     Kaget? Iya. Namun lebih baik ia kaget karena melihat Devan daripada kaget melihat penampakan hmm ... hantu di pagi hari.

     Devan mengangkat tas berwarna hitam melemparnya masuk ke dalam. Lenata sempat menghindari tas yang jatuh mendarat di depannya. Devan menaikkan satu kakinya ke atas tembok diikuti kaki satunya. Lenata dapat melihat Devan secara lengkap sekarang. Baju seragam yang dikeluarkan dan kera seragam tanpa dasi. Tanpa jeda, Devan langsung melompat turun dari atas tembok mendarat masuk menyusul tas miliknya.

  Lenata maju setelah mundur beberapa langkah melihat Devan melompat. "Ngapain manjat? Telat, ya?" tanya Lenata.

  Tas yang tergeletak di tanah segera diambil, Devan memasangkan kedua lengan tas melekat di punggungnya. "Udah tau ngapain nanya." Devan menyentuhkan telapak tangannya ke bagian bawah kardus yang dibawa Lenata. "Sini biar gue aja yang bawa," titah Devan mengambil kardus itu dari Lenata tanpa adanya perdebatan.

     Ukuran kardus itu tak sebesar ukuran kardus air mineral gelas pada umunya. Ukuran kardus yang dibawanya lebih kecil. Ya tidak terlalu kecil-kecil sekali. Ukuran sedang lah. Paling perbedaan ukurannya dengan kardus air mineral 11/12. Bagi Devan membawa kardus yang penuh dengan lembar-lembaran kertas tidak cukup berat baginya, karena ia cowok. Lain kalau Lenata. Yang dilihat Devan sebelumnya daripada Lenata terlihat capek membawa kardus yang terbilang berat untuk seorang cewek, Lenata lebih menunjukkan ekspresi takutnya tadi. Lantas mengapa Lenata tidak mendaftar saja jika ia mempunyai bakat menjadi atlet angkat besi. Tapi tidak mungkin saja, tubuhnya terlalu kecil untuk itu.

Titik AwalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang