Di dunia ini yang namanya ibu pasti sayang sama anaknya. Kalau enggak sayang berarti dia bukan sosok ibu yang sesungguhnya
Hentakan sepatu yang beradu dengan lantai menimbulkan suara decitan. Lenata yang baru pulang seusai membeli kelengkapan alat tulis langsung berlari menuju kamarnya dengan tergesa-gesa.
"Dek jangan lari-lari di dalam rumah! Lepas dulu sepatunya!" seru Edgar melihat Lenata berlari memasuki rumah.
"Lagi buru-buru kak," jawabnya cepat.
Bukan hal yang aneh jika Edgar menemui Lenata seperti ini ia berpikiran bahwa adiknya sedang kebelet boker. Padahal Lenata sedang terburu-buru mencari ponselnya.
Setelah mendengar cerita dari Bastian, Lenata berencana menghubungi Devan menanyakan kondisinya sekaligus meminta maaf soal perkataannya di perpustakaan. Tak enak hati iya. Itu yang dirasakan Lenata apalagi saat mengetahui kondisi Devan yang sedang tidak fit.
Pikirannya setelah mendengar cerita dari Bastian langsung berencana pulang karena Lenata lupa membawa ponselnya. Baru menginjakkan kaki sejauh lima meter dari sekolah, ia teringat harus ke toko membeli beberapa alat tulis.
Pintu kamar dengan gantungan namanya sendiri Lenata buka dengan keras, kepalanya bergerak menoleh ke kanan dan ke kiri mengikuti gerakan bola mata. Tangannya meraba-raba bawah bantal mencari ponsel.
"Aduh HP dimana sih! Perasaan sebelum berangkat aku inget banget kok naruh di kasur," keluh Lenata gagal menemukan ponselnya di bawah bantal.
Jempolnya memijit-mijit dagu terus mencari keberadaan benda kotak itu. Lenata menjatuhkan tubuhnya ke kasur seraya mengambil napas berat. Punggungnya merasakan ada sesuatu yang mengganjal begitu menempel selimut. Lenata menyibak selimut yang tertata rapi di kasur, akhirnya ia dapat menemukan benda yang dicarinya. Dengan cepat jarinya mengetik nama Devan di kolom pencarian chat.
Info kontak WhatsApp Devan terlihat online. Jarinya masih siaga siap menekan layar keyboard yang sudah muncul sedari tadi. Bingung ingin mengetik apa tiba-tiba layar ponsel berubah menjadi panggilan masuk. Lenata kaget mengetahui yang menelponnya adalah Devan. Jarinya menggeser icon telpon berwarna hijau untuk menjawab panggilan. Ponselnya ia dekatkan ke telinga mendengar suara Devan.
"Lama amat mengetiknya. Lupa ya kalau di WhatsApp bisa munculin info kalau orang sedang mengetik?"
Bagi pengguna aplikasi hijau ini pasti sudah paham jika keyboard sudah muncul di room chat, lawan chat yang dituju akan muncul tulisan 'sedang mengetik' dan Lenata baru ingat akan hal ini.
"Halo ... ketiduran, ya?" tanya Devan dari balik telpon.
Begitu mendengarnya Lenata langsung mengeluarkan suara. "Enggak-enggak halo-halo, Dev."
"Kenapa, Len? Tumben mau nge-chat gue. Biasanya nge-chat gue aja jarang, sekarang langsung ngomong di telpon. Ada apa nih? Kalau ada masalah bilang aja ke gue, siapa tau gue bisa bantu."
Apa yang dipikirkan Lenata berkebalikan dengan kejadian yang ada. Devan bukannya marah malah khawatir karena Lenata tiba-tiba menelpon. Ingat tujuan awal Lenata menelpon, ia langsung meneruskan niatnya.
"Devan lo enggak marah, kan?" Lenata menggigit jemarinya begitu menanyakan hal itu.
"Marah? Kenapa gue marah coba?"
"Marah gara-gara kejadian waktu di perpus tadi. Gue sudah bentak-bentak lo. Tapi seriusan itu gue refleks. Gue juga enggak ada niat sama sekali buat ngusir lo. Maaf ya maaf gue udah kasar. Maafin gue, ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Awal
RomanceSMA Garuda tidak kurang memiliki murid bandel di sekolahnya. Devan Aldeno contohnya. Seluruh warga sekolah mulai dari guru-guru, satpam, sampai siswa-siswi semua angkatan mulai dari kelas sepuluh - dua belas kenal dengan anak satu ini. Tahun pe...