Bagian 20

87 10 18
                                    

Terkadang disaat serius malah disangka bercanda. Hahaha, lucu memang

  "Devan! Ya ampun ... enggak usah usil bisa nggak sih!? Suka banget ngusilin orang, kena karma biar tau rasa!"

     Lenata melipat keningnya. Geram mengetahui Devan yang secara sengaja diam-diam mengendap dari belakang lalu muncul di samping wajah Lenata, meniup pipi Lenata membuat ia menoleh kaget sampai berteriak cukup keras. Semua pengunjung mall di dekat sana menoleh memusatkan perhatian mereka karena mendengar teriakan itu.

     Lenata menunduk malu berjalan menjauhi keramaian. Sementara Devan terkekeh-kekeh mengikuti langkah kaki Lenata. Kalau saja tadi Lenata tidak berteriak keras seperti tadi mungkin wajahnya tidak akan semerah ini. Atau lebih baik jika tadi Lenata bergerak reflek menggampar wajah Devan dengan telapak tangannya. Ada ide bagus lain contohnya ... setelah menggampar dilanjutkan dengan tendangan keras diantara selangkangan Devan. Dijamin Devan akan tersungkur jatuh tak berdaya. Yang pasti Lenata Tertawa terbahak-bahak penuh kemenangan.

     Menjauh dari kerumunan pengunjung sekarang berada di tempat yang agak jauh dari keramaian, Lenata menendang tulang kering Devan dengan sepatu kets-nya.

  "Wowo ... sakit woy! Niat amat lo nendangnya," rutuk Devan mengusap-usap kakinya.

     Celana jeans yang dikenakannya lumayan tebal jadi mengurangi rasa sakit dari tendangan Lenata ditambah lagi masih sejenis sepatu kets, bukan sepatu highheels yang ujungnya tajam dan keras.

     Seketika Lenata yang tadi sedang malu dan marah berubah senang setelah melihat ekspresi Devan barusan.

  "Apa yang lucu!? Seneng!? Bahagia!? Puas!? Udah, ketawa sekarang!? Kalau kaki gue berdarah mau tanggung jawab apa!?" Cerocos Devan.

  "Mana yang berdarah. Sini-sini gue lihat, biar gue tambahin lagi kalau kurang."

  "Cukup kok, makasih!"

  "Hahaha, salah sendiri udah ngagetin gue."

  "Siapa suruh lo kaget!?" tanya Devan.

  "Siapa suruh lo ngagetin gue!?"

  "Inisiatif gue,"

  "Reflek gue!"

  "Kok ngegas!?"

  "Kok sewot!?" seru Lenata.

  Devan menghela napas lelah melanjutkan perdebatan. Mengusap tengkuknya melambaikan sebelah tangan tanda ia menyerah. "Cukup, gue nyerah. Iya gue yang salah udah ngagetin lo tadi. Sebelum lo pingsan buruan cari tempat," pekik Devan memunggungi Lenata.

  "Enak aja nyerah, padahal tadi memang lo yang salah." Lenata menyikut perut Devan. Cowok yang berjalan di sampingnya hanya menyeringai.

  "Lo cewek, kan, Lenata?" tanyanya retoris.

  Sebelah alis Lenata terangkat, menggerakkan bahunya. Pertanyaan Devan terasa sangat bodoh untuk dijawab. "Jelas-jelas gue cewek."

  "Yaudah," balas Devan.

  "Kenapa?" tanya Lenata mendongakkan kepalanya meraih tatapan Devan.

  "......."

  "Kenapa!? Nggak jelas banget sih pakai tanya gitu segala. Kayak ngeraguin gue ini cewek apa bukan. Gue cewek tulen! Bukan jadi-jadian! Atau jangan-jangan lo mau minta bukti!? Wah ... modus lo, ya!?" Lenata menunjuk Devan sambil melotot.

  "Siapa juga yang modus? Jijik pakai q jadi jijiq," ucap Devan menepis tangan Lenata.

  "Gue juga jijik! Malah lebih jijik! Jijik gue udah pangkat sepuluh! Jawab aja, kenapa tanya gue cewek apa bukan?" Lenata masih terus menanyakannya bukan karena penasaran. Dia hanya ingin membuat obrolan yang seru saja karena tidak ada topik lain untuk saat ini.

Titik AwalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang