Bagian 14

109 35 16
                                    

Tantangan apapun selama gue serius gue pasti bisa! Serius mencintai lo aja gue bisa. Masa tantangan kecil gini gue enggak bisa. Jangan kaget kalau gue udah serius, ya?

  "Hei Len, sendirian aja nih. Jarang-jarang gue liat lo makan di kantin." Devan menjatuhkan pantatnya di kursi samping Lenata. "Bi, bakso sama es teh satu, ya. Baksonya kayak biasanya. Pedes, sambelnya tiga sendok aja," ucap Devan memesan kepada Bi Ijah penjual di kantin sekolah. Bi Ijah mengacungkan jempolnya sambil mengangguk.

  Tangannya yang siap menyuap bergerak menjauh dari mulutnya meletakkan sendok ke dalam mangkuk. "Devan? Kok lo ada disini? Udah masuk sekolah lagi?"

  "Belum. Gue masih tidur pulas di kamar. Sekarang lo lagi bicara sama rohnya Devan." Devan mengeluarkan senyuman diikuti bola matanya yang bergerak ke atas. "Udah jelas-jelas gue sekarang duduk di sebelah lo pake seragam sekolah. Masa iya gue belum masuk sekolah."

  "Kemarin masih demam, kan? Sekarang udah sehat aja. Kenapa bisa cepet banget gitu sembuhnya?" Lenata ingat betul sewaktu kemarin ia berkunjung tangannya merasakan panas di dahi Devan.

  "Gue sehat lo enggak seneng, ya? Lagian ngapain juga sakit lama-lama. Enggak enak. Nanti ... ada yang kangen lagi," goda Devan.

  "Idih ge-er banget. Emangnya siapa juga yang kangen sama lo? Enggak sama sekali!" kata Lenata membalas perkataan Devan.

  "Siapa yang bilang lo. Yang gue maksud tuh temen-temen gue. Si Bastian, Arfan, sama Rivo. Kalau lo, gue udah tau lo enggak bakal kangen gue." Devan memalingkan wajahnya. Lenata yang baru saja menyentuh sendoknya, menarik tangannya kembali. "Yang ada nih ya, bisa-bisa habis ini gue dibentak terus lo usir dari sini," ucap Devan dengan nada menggoda Lenata.

  "Devan! Gue enggak ada maksud buat bentak sama ngusir lo. Gue minta maaf. Enggak usah dibahas lagi, ya?" Lenata menempelkan kedua telapak tangannya membentuk permohonan maaf.

     Bi Ijah datang membawa nampan berisi pesanan Devan, satu porsi bakso pedas dan es teh. Sudah dipastikan bakso yang dipesan itu sangat pedas dari kuah terlihat berwarna orange efek dari sambal tiga sendok sesuai seperti permintaan Devan.

  "Nih sesuai pesenan nak Devan. Es teh manis tapi enggak terlalu manis, bakso pedes sambelnya tiga sendok." Bi Ijah menurunkan mangkuk berisi bakso beserta gelas es teh yang diterima Devan.

  "Makasih Bi," ucap Devan yang langsung ditanggapi Bi Ijah. "Makanan lo keburu dingin tuh, lanjutin makannya. Eh, Len, sebelum gue mau makan, boleh kagak gue makan disebelah lo? Takutnya nanti lo ngusir gue lagi," ucap Devan berakting mengangkat gelas dan mangkuk siap pergi dari sana.

  "Eh? Siapa yang ngusir!" Lenata menarik tangan Devan membuatnya duduk kembali. "Udah ah! Gausah bahas yang kemarin!" ucap Lenata disambut gelak tawa Devan.

     Devan menggerakkan tangannya memegang sendok dan garpu siap melahap bakso didepannya. Pedas tapi bukan masalah untuk Devan karena ia sendiri memang suka makanan pedas. Melihat Devan yang makan dengan tenang Lenata sedikit penasaran dan meragukan pikirannya sendiri bahwa bakso yang Devan makan sebenarnya tidak pedas hanya saja kuahnya yang berwarna terlalu mencolok seperti memakai banyak sambal. Tangannya yang sudah mengangkat sendok tertahan terus diam melihat Devan.

  "Apa? Gue makannya enggak rakus-rakus amat. Biasa aja ngelihatinnya," ucap Devan mengetahui dirinya sejak tadi diamati Lenata.

  Lenata menurunkan sendoknya ke dalam mangkuk. "Enggak pedes apa? Warna kuahnya sampai mencolok gitu. Enggak takut sakit perut?"

  "Mau nyoba?" tawar Devan mengarahkan sendok yang berisi potongan bakso beserta kuahnya.

  Lenata menggeleng menjauhkan kepalanya. "Enggak ah. Gue enggak suka yang terlalu pedes. Gue orangnya gampang sakit perut. Yang ada nanti malah mules-mules gue."

Titik AwalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang