Bagian 11

91 39 13
                                    

Dulu gue sering banget ngusilin lo. Sekarang  gue udah enggak pernah ngusilin lo lagi. Lo enggak kangen gue usilin apa.

     Empat sekawan; Devan, Bastian, Rivo, dan Arfan berkumpul di depan gerbang sekolah di atas motor sport mereka masing-masing. Sudah mulai sepi hanya ada beberapa anak yang tinggal di sekolah karena adanya kegiatan tertentu dan ada yang sedang menunggu dijemput. Seharusnya mereka berempat sudah pulang dari tadi jika saja bukan karena permasalahan Devan yang baru ingat kunci motornya ketinggalan di loker mejanya saat sudah sampai di parkiran. Melawan arus menerjang gerombolan murid-murid yang berlalu lalang keluar sekolah bukan hal yang mudah.

  "Nongkrong di tempat biasanya, yuk. Gimana? Udah lama juga kita enggak nongkrong bareng." Devan menyikut lengan Rivo yang berada di sebelahnya. "Ikutan enggak, lo?"

  "Waduh, sorry gue harus cepet-cepet balik, Dev. Gue disuruh bokap bantuin bersihin kandang ayamnya. Kalau enggak gue bantuin bisa-bisa gue disuruh tidur di kandang ayam ntar malem. Mana kandang ayamnya bau banget lagi. Mending gue bantuin bersihin daripada besoknya gue ditemukan dalam kondisi tidak sadarkan diri di dalam kandang ayam," seru Rivo memasang helm di kepalanya.

  Devan ganti bertanya ke Arfan yang tengah sibuk memainkan ponsel. "Lo gimana, Fan? Bisa ikut kagak? Nongkrong di tempat biasanya."

  "MAMPUS GUE!" pekik Arfan menatap layar ponselnya yang menampilkan beberapa notifikasi panggilan tidak terjawab. "Gue lupa! Kunci rumah dua-duanya gue bawa semua! Dari tadi pagi nyokap enggak bisa masuk ke dalem! Sorry, Dev. Gue harus cepet-cepet balik keburu gue dikutuk jadi batu." Arfan memutar kunci motor membuat mesin menyala. Ia segera menancapkan gas setelah berpamitan kepada tiga temannya.

  "Gue juga balik sekarang, Dev, Bas." Rivo menjabat tangan Devan dan Bastian. Mengikuti jejak Arfan, Rivo segera meninggalkan Devan bersama Bastian disana.

     Kali ini sepertinya urusan mereka untuk segera pulang memang penting. Karena biasanya mereka berempat selalu bisa menyempatkan waktu untuk nongkrong bersama. Akhir-akhir ini semakin dekatnya menjelang ujian kenaikan kelas mereka mempunyai kesibukannya masing-masing. Satu hal yang pasti dari empat orang ini. Kesibukan mereka yang pasti bukan kesibukan yang mengarah ke belajar atau membaca buku-buku catatan. Bagaimana mau membaca buku catatan jika mereka sendiri jarang mencatat di kelas.

  "Kalau lo sibuk enggak, Bas? Bukannya lo bilang ada acara di rumah nenek lo minggu ini?" tanya Devan menarik resleting jaketnya ke atas.

  Bastian menoleh menatap Devan dengan tatapan muram. "Kemarin malem gue beli es cendol di deket pom bensin. Waktu balik ke rumah, bokap sama nyokap udah berangkat duluan ke rumah nenek. Gue ditinggal sendirian di rumah. Di meja makan cuma ada nasi sama ikan asin. Kalau gue kucing sih enggak apa-apa. Berhubung gue laper banget ya gue makan tuh ikan asin sama nasi minumnya pake es cendol. Parahnya bokap lupa ngasih gue uang jajan lagi. Tadi pagi gue cuma beli nasi bungkus sama mie di kantin," cerocos Bastian sambil memegangi perutnya.

     Jaket kulit yang sudah tertutup rapat melekat sempurna di badannya ia membenarkan kera jaket yany terlipat, setelahnya Devan langsung mengambil helm yang sejak tadi bertengger di kaca spion. Tanpa membalas perkataan Bastian, Devan menyalakan mesin motornya.

  "Iya-iya gue traktir," ucap Devan paham maksud perkataan Bastian.

  "Beneran nih!?" tanya Bastian antusias. Devan membalas hanya dengan anggukan. "Sip. Tempat tongkrongan kita biasanya, kan? Oke gas!"

     Devan dan Bastian melaju beriringan menuju tempat yang mereka bicarakan sebelumnya. Bunyi deru motor mengisi jalanan yang mereka lewati.

**********

Titik AwalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang