(21) Orange

92 20 0
                                    

Jangan lupa tinggalin jejak yaa

“Warna kejinggaan di langit yang sangat khas dan indah, aromanya sangat menyejukkan. Meskipun tersimpan tatapan dingin di kedua matamu, aku tau bahwa kau berusaha mencairkan rasa dinginnya. Mengubahnya menjadi seulas senyuman seindah warna jingga itu.”

****

Gosip sekolah tentangku semakin membengkak. Kudengar semua orang kini sudah mengetahui peristiwa di kantin dua hari yang lalu. Aku benar-benar tidak tau bagaimana cara mereka untuk membuat gosip menyebar begitu cepat, namun itulah kenyataannya.

Untuk berjaga-jaga, aku tidak lagi pergi ke kantin, bahkan Yena dan Yuri tampak mengerti posisiku. Dan anehnya mereka berdua juga tidak ingin pergi ke kantin. Jadi mereka berdua menemaniku di dalam kelas yang nyaris sepi.

Jeno dan teman-temannya tentu sudah pergi ke kantin. Walaupun Jeno sempat terlihat menolak dan ingin tetap di kelas. Tidak lapar katanya. Tapi aku tau bahwa dia hanya sedang beralasan semata, pasti dia tidak ingin ke kantin karena malas, dan teman-temannya sudah paham dengan sikap Jeno, jadi mereka tetap memaksanya ikut.

Dengan ejekan bahwa Jeno ingin terlihat paling cantik di antara kita bertiga. Alhasil dia tidak punya pilihan selain ikut.

Sepanjang menit jam istirahat aku habiskan dengan mendengarkan lagu sembari membaca buku yang aku pinjam dari perpustakaan beberapa hari lalu. Karena sebentar lagi menjelang UTS, aku jadi tidak sempat untuk membaca buku, bahkan kebiasaanku--menulis cerpen dan puisi--harus terhenti sementara waktu.

Namun tiba-tiba seseorang menarik headset-ku secara paksa, aku mengernyit kesal sembari menoleh ke arah belakang, menatap siapapun yang telah menggangguku.

Seketika mataku terbulat, rupanya dia adalah para kakak kelas geng ubur-ubur yang diceritakan oleh Yena dan Yuri. Sekumpulan kakak kelas yang suka bersikap berkuasa di sekolah, karena berasal dari keluarga kaya dan berpengaruh di sekolah.

“Lagi ngapain Dek?” Salah satu dari mereka, yakni seorang lelaki berambut hitam mendekat, duduk di atas mejaku seenaknya. Dia meraih kertas puisi yang barusan kutulis, aku berusaha mengambilnya lagi tetapi dia menjauhkan benda itu dari jangkauan tanganku.

“Sebuah obsidian bersinar pada malam sunyi. Kita saling berhadapan dalam kebisuan yang suram. Melihat dengan kedua mata penuh tanda tanya. Sesuatu ada yang hilang seperti kapas di udara." Dia membaca bait-bait puisiku dengan suara datar tanpa nada, seakan dia sedang membaca rangkuman.

“Berbakat juga kamu Dek." Dia menoleh padaku dan tersenyum, aku membalas senyumnya dengan tatapan yang tidak menyenangkan.

Di detik berikutnya aku melihat dia merobek kertas puisiku, tepat di depan kedua mataku. Sontak aku berdiri, menatap mereka semua dengan tatapan marah. Dia masih tampak menyebalkan, menggoyang-goyangkan kertas puisi yang telah tersobek menjadi dua di depan wajahku.

“Keluar!” ucapku tidak senang.

Yena dan Yuri tampak ketakutan, mereka berdua terdiam, menghadap ke depan tanpa berani untuk membelaku. Tentu saja. Akupun tidak mau mereka ikut campur.

“Jangan galak-galak gitu dong, kan jadi makin imut.”

Aku kesal, namun aku hanya bisa berdiri terdiam dengan tatapan marah. Seperti sebuah manekin yang diberi ekspresi.

Salah satu dari mereka, kakak kelas perempuan yang berambut panjang bergelombang, menarik lenganku. Memaksaku untuk berhadapan dengannya. Kedua matanya yang menatapku dengan remeh seakan menusuk ke dalam tubuhku.

“Baru aja kelas satu, udah sombong,” katanya dengan sarkas.

Aku menatap mereka berlima, masih dengan keberanianku yang tersisa. Takkan kubiarkan mereka membuatku goyah, sedikitpun.

R136a1 Beautiful Of You're [NCT × TXT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang