(32) Matahari

42 8 0
                                    

“Pada hari yang cerah ini, aku mengangkat kepalaku. Melihat ke atas, pada cahaya matahari yang bersinar cerah. Kadang ada kalanya itu mengingatku padamu.”

****

Hari-hari terus bergulir hingga dua tahun lamanya.

Selama itu pula Jeno tidak bangun.

Semakin lama melihatnya seperti itu aku semakin merasa takut. Aku takut jika dia tidak akan bangun lagi seperti prasangka burukku.

Kedua orang tua Jen tidak menyerah. Mereka mengatakan padaku bahwa semakin lama kondisi Jeno semakin baik tetapi semua itu tidak memperbaiki perasaan sedihku.

Selama dua tahun juga aku bertemu dengan Jina, terkadang dia datang untuk menjenguk Jeno walaupun sekarang dia sudah sibuk dengan urusan kuliahnya tetapi dia tetap menyempatkan diri untuk datang.

Jina pasti sangat menyukai Jeno.

Dia juga tampaknya masih membenciku terlihat bahwa dia tidak pernah mau menatapku dan mengajakku berbicara ataupun berurusan lagi denganku.

Ibu Jeno tampaknya tidak menyukai Jina karena perilakunya kepadaku. Dia terus saja memujiku di depannya dan berkata bahwa Jeno sangat menyukaiku dan akan selalu seperti itu hingga kapanpun.

Ucapannya itu pasti semakin membuat Jina semakin membenciku, tetapi itu terserah padanya, aku sudah tidak peduli lagi.

“Kalo Jeno sudah bangun nanti, Hana mau ‘kan, jadi tunangan Jeno?” Ibu Jeno mengatakan hal itu dengan senyuman sembari memegang tanganku seakan berharap bahwa aku akan menerima anaknya.

“Walaupun Hana harus nunggu, Hana mau ‘kan?”

Aku tidak mengerti mengapa mereka masih saja seperti ini padaku. Entah mereka tau atau tidak bahwa Jeno seperti itu karena menolongku yang berbuat bodoh, yang pasti perbuatan mereka membuatku merasa sedih.

Aku bahkan tidak pernah pantas jika harus disandingkan dengannya.

“Iya Tante, aku mau nunggu kok.”

Tetapi aku tidak bisa berbohong bahwa aku masih ingin melihatnya.

****

Dua tahun lalu, saat aku sembuh seminggu sebelum ujian kenaikan kelas dimulai, kedua orang tuaku meminta pindah sekolah dan kini aku akan pindah ke sekolah yang sama dengan Yena.

Yuri adalah orang yang pertama menangis dan memelukku begitu erat karena tidak rela jika aku meninggalkannya sendiri di sekolah itu, namun aku harus pergi. Bukan hanya karena orang tuaku tetapi juga hatiku yang tidak siap setiap kali melihat bangku Jeno.

Setiap kali aku duduk di samping bangku itu, aku merasa kosong saat menyadari bahwa Jeno tidak ada di situ.

Aku tidak ingin merasakannya lagi.

Aku mengembalikan ponsel Jeno kepada Kak Taeyong. Dia memintaku untuk selalu menjenguk Jeno agar Jeno lekas bangun seperti dia yang selalu bersemangat saat bertemu denganku, hanya saja aku tidak bisa, itu terlalu berat untukku.

Saat aku pergi ke taman bunga lonceng bersama Yuri untuk terakhir kalinya, taman itu tidak berbunga sama sekali, hanya daun yang membentang luas tanpa ada warna ungu dari bunga lonceng yang lucu.

R136a1 Beautiful Of You're [NCT × TXT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang