“Saat aku menatap semu di balik bingkai jendela, aku merasakan angin dan pemandangan yang sama setiap harinya.”
****
Ketika aku lahir di dunia ini, kedua mataku tertutup dan tak bisa melihat apapun, tetapi aku menangis sangat keras. Tangisan itu didengar oleh semua orang yang ada di dalam ruangan itu, dan mereka merasa bahagia. Aku tak ingat mengapa alasanku saat itu menangis, seorang wanita dan pria menatapku seperti seekor bayi katak, sementara aku merasa dikelilingi oleh gedung yang sangat, sangat tinggi.
“Park Hana, namamu Hana ...,” suara itu tak jarang aku dengarkan di setiap harinya, meskipun begitu, aku tak pernah merasa bosan mendengarnya.
Caraku berpikir serta imajinasi yang kumiliki, jauh lebih besar dari apa yang bisa kutunjukkan lewat ekspresiku. Setiap gerakan yang aku lakukan mengisyaratkan caraku yang tidak berdaya untuk melawan segala hal dalam hidupku. Menyadari bahwa aku benar -benar tidak bisa hidup sendirian.
Betapa aku merasa terjebak dalam alur kehidupan yang saling menjerat satu sama lain. Mencampurkan peristiwa antara aku dan orang lain, menunjukkan alasan dan sebab–sebab yang akan terjadi di kemudian hari, dan kelak akan berubah menjadi akibat yang harus baru dipetik seperti buah yang sudah ditanam. Dan aku masih saja bertanya-tanya.
Tetapi hal ini bukanlah hanya sekedar bertanya-tanya tetapi juga merupakan alasan atas kekhawatiranku. Bagaimana caraku mengekspresikan diriku dibalik jeruji penuh kegelapan dan kabut ini? Dan semua orang menyalahkan apa yang kulakukan selama ini.
Menjadikan sebuah perbedaan antara aku dengan orang lain seperti sebuah batasan yang tak mungkin pernah kusebrangi. Dan sampai kapanpun takkan ada yang menerima perbedaanku. Takkan ada yang memahami dan mengerti tentang perbedaanku, karena mereka sibuk menyalahkan dan menjadi sangat egois terhadap perbedaan.
****
Tahun 2003
Ketika kaki kecilku turun dari atas sebuah motor berwarna hitam dengan suara yang tidak indah dan kecil, aku menatap sekeliling dengan bingung. Seluruh tatapan aneh hanya tertuju pada kami, tak tau bahwa itulah yang disebut dengan tatapan penuh rasa benci.
Mereka menatap kami seakan memastikan bahwa tidak akan pernah ada hari esok untuk orang-orang hina seperti kami. Tak ada keramahan atau senyum yang ditujukan untuk kami, bahkan aku tidak ingat bagaimana kami bisa masuk ke dalam rumah itu.
Nenekku, dia adalah nenek terbaik yang pernah ada untukku, dengan baik hati dia memberi segelas susu untukku dan adikku. Selama beberapa saat aku bertanya kepada ibuku mengapa kami ada di sini. Tetapi hanya senyuman yang selalu kudapat atas pertanyaanku.
****
Seperti arus, aku berjalan ke sana-kemari tanpa tujuan, seorang anak yang umurnya seumuranku bernama Park Jihoon. Orang itu selalu marah-marah seperti orang tua. Dia juga selalu melarangku di manapun berada meskipun hanya sekedar makan.
Ketika aku hendak mengambil sendok, dia merebut sedok yang kuambil dan juga seluruh sendok yang ada di wadah sendok. Dia menatap ku seakan-akan aku adalah lalat yang akan membuat makanan di piringnya menjadi beracun.
“Sendok ini punya aku,” begitulah yang dia katakan.
Dia masih tetap memeluk wadah sendok itu tanpa mengizinkan aku mengambilnya barang satu sendokpun, tentu aku kesal, dengan berani aku merebut sendok–sendok itu dan memukulkan sendok-sendok itu ke kepalanya beberapa kali.
KAMU SEDANG MEMBACA
R136a1 Beautiful Of You're [NCT × TXT]
FanfictionSay you love me! "I love you." -Lee Jeno "I hate you." -Park Hana Lee Jeno orang baik-baik? HAHAHAHA, kalian hanya tidak tau bahwa dulu dia pembully!