Melupakan itu bukan perihal yang tidak mungkin, hanya tidak mudah.
💫💫
Alma berdiri di tepi balkon hotel, tangannya bertumpu pada railing. Sesekali cewek itu menghela napasnya, merasakan suasana pagi Perancis yang tidak jauh berbeda dengan Indonesia. Ini adalah pagi ketiganya di kota kelahiran Papanya-Paris. Tempat Alma menjalani sebagian hidupnya.
Menara Eiffel tampak lebih kecil jika dilihat dari tempatnya berdiri sekarang. Ingin rasanya Alma berlari kesana saat ini juga, tapi dia tidak bisa. Tujuan utamanya datang kesini harus tuntas dulu.
Alma kembali menghela napas, kemudian membalikkan tubuhnya hanya untuk melihat meja bundar yang sudah dipenuhi oleh berbagai menu sarapan. Sumpah demi apapun, meskipun dalam darahnya mengalir darah bule dari Papanya, tapi lidah Alma tidak bisa berbohong. Dia tidak pernah cocok dengan makan-makanan itu. Bahkan beberapa tahun tinggal disini tidak membuat lidah Alma terbiasa.
Alma masih diam di tempat, bahkan saat telinganya menangkap suara seseorang yang tengah memasukkan kartu akses pintu kamarnya. Tanpa perlu melihat Alma tahu siapa orangnya.
Dan benar saja, beberapa saat kemudian dia bisa melihat Mamanya yang tampak nyentrik dengan pakaian kerjanya sudah berdiri di hadapan Alma.
"Oh hai Dear!" seru Mamanya sambil berjalan menghampirinya. Mamanya memeluk serta mencium kedua pipinya. "Kamu kenapa nginep di hotel sih? Kenapa gak ke rumah aja?"
Alma masih menatap diam Mamanya. Kemudian berbalik memunggungi Mamanya. "Buat apa? Tujuan aku kesini buat nemuin Mama. Pulang ke rumah gak akan bikin tujuanku tercapai. Aku milih hotel ini karena Mbak Nawang bilang Mama ada agenda meeting di sini. Harusnya Mama bersyukur, punya anak yang amat sangat memahami kesibukan Mamanya."
Alma tidak peduli jika kalimatnya sangat tidak sopan.
Mamanya hanya tersenyum. "Seenggaknya kamu bisa telpon Mama dulu, supaya Mama bisa jemput kamu di bandara. Biar gak kayak sekarang. Kamu udah di sini tiga hari, dan Mama baru tahu hari ini."
"Aku sangsi Mama bakal ngangkat telponku," ujar Alma sarkas.
Wanda yang merasa sedikit sakit hati oleh ucapan sarkas putrinya itu hanya bisa diam. Perempuan itu masih berusaha tersenyum.
"Kamu udah sarapan, dear? Mau sarapan bareng Mama? Mama masih ada waktu sebelum meeting," tawar Wanda pada Alma. Berusaha mencairkan suasana yang tengah menegang.
Iya, Alma mau.
"Gak perlu. Aku udah sarapan," bohong Alma.
Wanda hanya mengangguk.
Lama mereka saling diam. Suasana canggung dan tegang ini tidak seharusnya terjadi diantara anak dan Ibu. Apalagi mereka yang sudah lama tidak bertemu.
"Aku kesini cuma mau bilang, Bu Lia, guru BK aku minta Mama buat dateng ke sekolah," ujar Alma setelah hampir lima menit mereka terjebak dalam keheningan.
"Kenapa? Kamu buat kesalahan?"
Alma bisa melihat Mamanya tampak bingung. Tapi kebingungan itu justru semakin memperjelas rasa sakitnya. Seharusnya Mamanya tahu alasan Alma dipanggil BK, karena cewek itu selalu mengirim voice note yang berisi ocehannya tentang semua hari-hari yang ia lewati tanpa Mamanya. Dan melihat Mamanya tidak tahu menahu soal itu Alma berani menyimpulkan bahwa Mamanya tidak pernah membuka pesan-pesan yang ia kirim. Dan hal itu membuat Alma semakin berasumsi bahwa Alma memang sudah tidak berarti untuk Mamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Astrophile
Teen FictionAku bisa melihatmu tanpa mata Aku juga bisa mendengar suaramu tanpa telinga Bahkan, aku bisa menggenggammu hanya dengan udara. Jadi, mungkin saja aku bisa mencintaimu tanpa kamu balas dengan rasa yang sama. *** Alma tidak sedang meminta Bintang yang...