Kurang dari sepuluh menit, bel istirahat akan berbunyi. Tapi guru yang mengajar di kelas Sebelas Bahasa 1 sudah keluar sejak tigapuluh menit yang lalu. Membuat kelas jadi secara otomatis diisi oleh beberapa gerombolan. Salah satu contohnya itu gerombolan yang terdiri dari enam anak yang sibuk berdempet-dempetan demi menonton kartun 'The Owl' melalui ponsel Alma.
Tahu kartun 'The Owl'? Itu loh kartun yang karakter utamanya burung hantu berwarna pink yang badan sama kakinya nggak nyatu. Terus, tiap diujung cerita selalu gepeng. Ya pokoknya itulah.
"Woi, Alma!"
Teriakan beserta gebrakan pintu membuat hampir seluruh penghuni kelas menoleh ke sumber suara karena terkejut. Tak terkecuali gerombolan pecinta kartun tadi.
Belum selesai keterkejutannya, Alma sudah dibuat terlonjak lagi saat tiba-tiba Wendi sudah menubruk dan merangkul bahunya.
"Ma, nggak nyangka gue, kalo lo pernah lahir," ujar Wendi sambil menepuk-nepuk pundak Alma.
"Lo ngomong apa sih?!"
"Wei-wei apanih, peluk-pelukan udah kayak teletubbies aja!" Martin dengan kasar mendorong Wendi menjauh dari Alma.
"Ck, kok lo nggak bilang sih kalo kemarin ulangtahun?! Kan gue mau minta PU!" gerutu Wendi. "PU dari Ratu Bangsat pasti bedalah."
"Loh Alma ultah?!" seru kompak Martin dan Rahel.
"Apaan, bilangnya sahabat tapi hari ulangtahunnya aja nggak tahu!"
Mengabaikan cibiran Wendi, Rahel buru-buru berlari ke depan kelas untuk mengecek kalender yang digantung dekat papan tulis.
Di kalender itu banyak terdapat coret-coretan yang menandai hari ulangtahun semua siswa di kelas ini. Bukannya sok setia kawan, itu bertujuan supaya mereka bisa minta traktiran saat ada yang ulangtahun.
"Ya ampun Ma! Kok lo nggak ngingetin gue sih?! Sumpah gue lupa banget. Lo juga sih Tin, kok nggak ngingetin gue?! Yusuf juga biasanya yang sering ngingetin kok kemaren nggak ngingetin!"
"Kok lo jadi nyalahin gue? Lo aja nggak inget," kata Martin tak terima.
"Gue ingetnya tadi pagi. Gue juga udah ngucapin pagi tadi ke Alma, tanya aja ke orangnya sendiri."
Rahel membulatkan mata mendengar pengakuan Yusuf.
"Yaudah sih, Hel. Udah lewat juga," tukas Alma acuh.
Rahel duduk mendempet Alma dengan memasang wajah bersalah. "Sori ya Ma. Beneran deh gue nggak inget."
"Gapapa. Kan sekarang udah inget."
"Ya tapi kan telat, Alma!"
"Daripada nggak inget sama sekali!"
Rahel menipiskan bibirnya. "Lo bikin gue jadi kedengaran kayak temen yang jahat tau nggak."
Bohong kalau Alma sama sekali tidak kecewa, disaat kado yang Alma harapkan di setiap ulang tahunnya adalah ucapan dari Mama dan teman-temannya.
Ditambah Alma yang tadi malam sudah berharap teman-temannya ini hanya berpura-pura lupa dan malamnya Alma akan mendapat kejutan. Ternyata berakhir dengan mereka yang benar-benar lupa. Otak Alma memang terlalu drama dalam menyusun harapan.
Tapi mau bagaimana lagi. Terlebih ada ungkapan kalau manusia itu tempatnya lupa. Kalau lupa ya tidak ingat. Alma tidak bisa memaksa mereka.
Dan untuk mengingatkan mereka secara langsung, menurut Alma itu akan terlihat menyedihkan.
"Bukan gitu maksud gue!" Alma beralih menatap Rahel. "Udahlah lupain aja. Ulangtahun doang."
"Lagian lo juga sih, Ma! Waktu gue tanya kapan tanggal lahir lo, lo malah jawab lo nggak pernah lahir. Katanya lo keluar waktu nyokap lo bersin," gerutu Martin.
"Ya emang kalo gue kasih tau, lo bakal inget?"
"Ya nggak sih."
Alma hanya berdecih keras. "Terus si lambe turah satu ini tau darimana kemaren gue ulangtahun?" matanya seolah menunjuk Wendi.
"Bintang yang bilang, katanya kemaren lo ketemu nyokapnya."
Jadi Bintang tahu Alma baru saja ulangtahun? Dan cowok itu tidak berniat memberi ucapan selamat?
***
"Pak hari ini nggak usah jemput ya. Aku pulang sama temen."
Setelah mendapat jawaban dari supirnya, Alma memutus panggilannya. Cewek itu celingukan di koridor depan kelas sepuluh yang berhadapan langsung dengan lapangan basket.
Dentingan tanda pesan masuk membuat Alma mengecek ponselnya.
From Rahel: Buruan ke parkiran, Martin bawa mobil
Alma mengerutkan kening membaca pesan itu. "Tumben Marimar bawa mobil. Nggak takut dipentung bokapnya apa?"
Wajar Alma bingung. Karena sepanjang ia kenal Martin, yang ia tahu cowok itu dilarang mengendarai mobil oleh Papanya. Alasan Papanya melakukan itu karena Martin sudah berkali-kali kena tilang karena sering melanggar lalu lintas. Iya, Martin memang sebandel itu. Kalau bukan anak tunggal mungkin sudah ditukar tambah oleh orangtuanya.
Cewek itu masuk ke area parkir mobil. Ia berjalan tak tentu arah sambil mengetikkan pesan untuk Rahel, bertanya mobil Martin ada dimana, saat tiba-tiba ada yang menepuk pundaknya. Membuat ia reflek menengok ke belakang.
"Hng, Bintang? Gue pikir lo udah pulang." Alma mengernyit sambil memandang Bintang yang berdiri di depannya.
Tadi saat Alma ke kelas Bintang, cowok itu sudah tidak ada. Padahal, Alma mau bilang kalau hari ini dia akan pulang dengan Martin, Yusuf dan Rahel---mereka minta pajak ulangtahun, katanya. Walaupun, Alma tak yakin Bintang akan peduli.
Cowok itu tidak mengatakan apa-apa. Dia langsung menuju mobilnya---Alma cukup terkejut cowok itu membawa mobil ke sekolah, di saat beberapa hari lalu cowok itu bilang bahwa mobil itu merepotkan---lalu kembali lagi ke hadapan Alma sambil membawa sebuah kotak karton berwarna coklat.
"Titipan dari Bunda."
"Buat gue?"
Cewek itu membuka kotak itu. Ternyata isinya sebuah kue didominasi oleh krim putih yang tidak terlalu rapi. Lalu di atasnya hanya ada hiasan tulisan 'hbd' yang dibuat menggunakan krim coklat.
"Ini dari Bunda lo?"
Bintang mengangguk.
Bukannya meremehkan atau tidak bersyukur. Tapi untuk ukuran kue yang dibuat oleh pemilik toko kue seperti Bunda Bintang, kue ini tampak sedikit 'kacau'.
"Sampein ya ke Bunda lo, makasih. Padahal Bunda lo nggak perlu repot-repot sampe bikinin kue gini, anaknya aja nggak ngucapin apa-apa ke gue," ujar Alma dengan nada yang semakin rendah pada kalimat terakhir.
"Oke." cowok itu hendak masuk ke mobil. "Buruan masuk."
"Oh sori, hari ini gue nggak bisa ikut lo lagi."
"Kenapa?"
Alma mengernyit. "Tumben nanya 'kenapa'."
Sadar sudah salah bicara, Bintang memalingkan muka dan berdeham. "Lupain. Kalo gitu, gue duluan."
Bintang menjalankan mobilnya keluar area parkir. Ia sempat melirik spion dan melihat Alma yang masih berdiri di tempatnya sambil melambaikan tangan.
Cowok itu memukul pelan setirnya mengingat dia tadi sudah salah bicara. Tidak seharusnya dia bertanya seperti itu kepada Alma, seolah-olah dia kecewa karena Alma tak ikut dengannya. Kenapa sekarang keadaannya berbalik? Kenapa seolah-olah Bintang yang paling ingin Alma ikut dengannya?
Apa cewek itu mulai sadar, kalau menyukai seorang Bintang itu membosankan? Apa cewek itu sudah muak ikut Bintang ke perpustakaan?
Saat mobilnya berhenti di lampu merah, Bintang meraih kotak yang dibungkus rapi dengan kertas kado yang ia letakkan di kursi sampingnya.
Sekarang Bintang baru sadar, dia terlihat konyol dengan menyiapkan kado untuk Alma. Memangnya mereka sedekat apa? Hari ulangtahun cewek itu saja Bintang baru tahu kemarin.
Cowok itu berdecih lalu melempar kado itu ke bangku belakang, bersamaan dengan lampu yang berubah warna dan mengharuskan Bintang menjalankan mobilnya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Astrophile
Genç KurguAku bisa melihatmu tanpa mata Aku juga bisa mendengar suaramu tanpa telinga Bahkan, aku bisa menggenggammu hanya dengan udara. Jadi, mungkin saja aku bisa mencintaimu tanpa kamu balas dengan rasa yang sama. *** Alma tidak sedang meminta Bintang yang...