Alma masuk ke ruang tengah rumah Rahel dengan wajah berseri yang mengalahkan sinar mentari pagi. Seperti anak kecil, cewek itu berjalan sambil sedikit melompat.
"Hai-hai Almareta di sini, dengan siapa di sana?"
Celetukan absurd Alma membuat tiga penghuni sofa ruang tengah menoleh kearahnya secara bersamaan. Tiga orang itu masih memandang Alma dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Gue rasa kegilaan Alma udah masuk stadium akhir," cetus Martin sambil menatap Alma dengan pandangan mengasihani.
Rahel dan Yusuf yang duduk di sofa panjang dengan saling memunggungi, kompak menumpukan dagunya di punggung sofa sambil menatap prihatin Alma. "Hm... kasian, mana masih muda."
Alma cemberut mendapat ejekan dari tiga temannya itu. Cewek itu berjalan dengan langkah serampangan ke sofa tunggal yang berseberangan dengan Martin. Mendudukkan pantatnya dengan kasar. "Kalian tuh kapan sih bisa ikut senang sama kebahagiaan gue?!"
"Oh lo lagi bahagia? Gue pikir lagi kumat gilanya."
Alma mendelik. Cewek itu melempari wajah Martin dengan bantal yang untungnya bisa di tepis cowok yang sedang terkekeh itu.
Rahel yang masih duduk saling memunggungi dengan Yusuf, menegakkan kepalanya dan menatap Alma. "Emangnya bahagia kenapa sih Ndoro ku ini?"
Alma yang tadi menekuk wajahnya, dengan cepat menarik senyum malu-malu yang membuat Martin bergidik. "Coba tebak, gue tadi abis main darimana?"
"Palingan abis becek-becekan di lapangan dekat SD sebrang komplek ini."
"Sembarangan." Alma kembali melempari Martin dengan bantal, hingga membuat cowok itu mendelik karena lemparan Alma hampir membuat ponselnya jatuh ke lantai. "Kalo ngomong nggak pake bismillah. Mana mungkin Almareta, orang yang punya Paris mainnya becek-becekkan?!"
"Halah, ngakunya yang punya Paris tapi tiap pulang dari sana mana pernah sih ingat oleh-oleh buat teman?!"
"Loh jangan lupa ya, terakhir kali gue kesana, gue bawain oleh-oleh!"
"Gantungan kunci menara Eiffel doang mah di sini juga banyak kali yang jual."
"Asal lo tau ya Marimar, gue tuh kalo ngasih oleh-oleh juga mikir-mikir. Orang yang banyak siriknya kayak lo, udah paling bagus dapat gantungan kunci!"
Martin memasang wajah mencibir "Nyenyenyenye."
Wajah Martin yang biasa saja kadang bisa menyulut emosi Alma,apalagi wajah yang sarat akan cibiran itu. Alma menghampiri Martin dengan langkah lebar dan sebelum cowok itu sempat menghindar, Alma sudah lebih dulu menjambak rambut cowok itu. Membuat teriakan kesakitan Martin bergema di ruang tengah rumah Rahel.
Sebenarnya Alma berniat mencakar wajah cowok itu, tapi tiba-tiba dia jadi terpikir dengan kuku-kukunya yang baru beberapa hari lalu mendapat perawatan. Bakal sangat disayangkan jika kukunya patah hanya gara-gara Martin. Itu sebabnya Alma lebih memilih opsi menjambak. Jadi setidaknya, kalaupun harus ada yang rusak itu adalah rambut Martin bukan kukunya.
"Udah Ma, nggak guna banget nguras tenaga buat ngeladenin manusia kambing kayak Martin," ujar Rahel yang sebenarnya tidak niat-niat amat melerai mereka berdua.
"Kok kambing sih?! Gue nggak bau tau!" kata Martin sambil mengusap kepalanya yang terasa panas.
Sedangkan Alma sudah kembali ke tempat duduknya semula dengan napas naik turun yang begitu kentara.
"Masih meding Rahel nggak ngatain lo anjing!" balas Alma dengan nada pelan di ujung kalimat. Setidaknya dia masih ingat untuk tidak berbicara kasar di rumah Rahel.
"Ck, kalian kompak banget kalo urusan ngatain gue. Padahal yang lebih pantas dikatain kambing tuh Rahel. Dia kan udah nggak mandi dua hari, nggak kebayang seberapa apek badan sama rambutnya."
Jangan heran, Martin ini memang hobinya cari masalah. Selesai dengan Alma, mulai babak baru dengan Rahel.
"Ih nggak ya Marimar! Rambut gue wangi tau!"
"Masa?! Padahal Ucup kayaknya udah nahan banget tuh dari tadi duduk dekat lo. Coba Cup, cium Cup."
Ucup itu panggilan mereka bertiga untuk Yusuf. Dan yang punya nama tidak keberatan di panggil Ucup asal bukan di lingkungan sekolah.
Rahel tersekat saat merasakan Yusuf berbalik dan membaui rambutnya dengan hidung mancung cowok itu. Cuma sebentar, tapi efeknya cukup besar buat Rahel.
"Nggak wangi. Tapi juga nggak bau kok," ucap Yusuf sambil kembali bersandar di punggung Rahel dan kembali memainkan ponselnya.
Kalau Rahel tersekat hingga terdiam kaku sampai beberapa menit kedepan, maka Alma sedang menahan tawa hingga wajahnya merah. Dia sangat paham perasaan Rahel sekarang. Bahkan beberapa jam lalu ia baru merasakannya—saat Bintang dengan tiba-tiba mengikatkan rambutnya.
Masih dengan tatapan menggoda dari Alma, Rahel berusaha menguasai diri. Ia berdehem lalu berkata, "J-jadi apa yang bikin lo bahagia sampai senyum-senyum nggak jelas—walaupun nggak jelas udah jadi kebiasaan lo—gitu?"
Alma yang begitu mudah teralihkan, jadi senyum-senyum malu hingga membuat Martin bergidik. Cewek itu mengibaskan rambutnya yang masih terikat oleh dasi Bintang. "Kalian liat ini?"
"Apaan? Kutu lo?"
Alma tak menggubris Martin yang pada dasarnya sering memancing keributan. Padahal mancing ikan di empang lebih menyenangkan, enak dapat ikan. Daripada memancing keributan, yang cowok itu dapatkan dari Alma adalah jambakan.
"Lo tau Hel, tadi gue abis ke rumah Bintang, terus bikin kue sama Bundanya Bintang, terus gue tadi juga ketemu Eyangnya Bintang," ujar Alma dengan semangat sambil menghadap Rahel.
"Masa? Ngayal kali lo?"
Celetukan Martin hampir saja membuat Alma kembali melayangkan tangannya ke atas kepala cowok itu, kalau saja Rahel tak menahannya. "Anggap aja dia nggak ada."
Pada akhirnya Alma hanya melirik sinis ke arah cowok yang sekarang sedang memeletkan lidahnya itu.
"Kok lo bisa ke rumah Bintang? Emang hari ini dia juga ke sekolah?"
Alma mengangguk sumringah. "Lo tau Hel? Eyangnya Bintang baik banget. Tadi kita makan kue bareng, terus Eyangnya Bintang juga muji gue cantik. Emang ya, kayaknya di dunia ini yang matanya siwer cuma Martin, sampe nggak bisa liat kecantikan gue. Bahkan Eyangnya Bintang yang udah sepuh aja masih bisa liat."
Sebenarnya diantara Alma dan Martin itu sama saja. Seolah lidah mereka bakal membusuk kalau sehari saja tidak menghina satu sama lain. Rahel cuma bisa memutar bola mata mendengar Alma yang mulai memancing keributan.
Tapi, dari semua hal itu, Rahel diam-diam tersenyum melihat Alma yang tadi begitu semangat menceritakan Eyang Bintang. Sejak mengenal Alma, Rahel belum pernah melihat binar bahagia yang sekarang sedang menaungi mata sahabatnya itu.
Terlepas dari ketidaktahuan Rahel akan masalah keluarga yang Alma alami, Rahel hanya bisa melihat rindu yang menumpuk dari setiap tatapan mata Alma saat cewek itu menatap Mamanya.
"Gue anggap lo nggak pernah ngomong gitu," balas Martin acuh.
"Besok kan udah mulai libur semester tuh, jalan kuy," ajak Rahel.
"Kemana?"
"Ya kemana gitu. Itung-itung refreshing abis liat rapor yang udah mirip kebon cabe. Terutama buat Alma."
Alma mendelik kearah cewek yang sekarang masih nyaman bersandar di punggung Yusuf. Tapi dia tidak bisa membela diri karena dia belum lihat rapornya.
"Ke Paris boleh lah. Kali aja orang yang ngaku yang punya Paris, mau bayarin gitu." Martin menyindir Alma.
Tapi Alma tak lagi ambil pusing. Cewek itu cuma menyibakkan rambutnya. "Sebelumnya sori ya, tapi besok gue udah ada janji."
***
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Astrophile
Teen FictionAku bisa melihatmu tanpa mata Aku juga bisa mendengar suaramu tanpa telinga Bahkan, aku bisa menggenggammu hanya dengan udara. Jadi, mungkin saja aku bisa mencintaimu tanpa kamu balas dengan rasa yang sama. *** Alma tidak sedang meminta Bintang yang...