"Kita mau kemana Bintang?" tanya Alma dengan senyum mengembang sambil duduk di boncengan belakang.
Sekarang Bintang sedang memboncengnya menggunakan sepeda milik tante Bunga. Iya sepeda, bukan motor. Karena sampai sekarang Alma belum bisa mengatasi rasa takutnya saat naik motor. Sepeda berwarna biru pastel dengan keranjang di bagian depan ini Bintang kayuh melewati ruko-ruko toko yang berjajar di pinggir jalan.
Kemarin Eyang dan Alma membuat janji bahwa hari ini mereka akan berkebun di taman samping rumah Bintang. Lalu karena terlalu bersemangat, bahkan Alma datang disaat keluarga Bintang baru menyelesaikan acara sarapan.
Tapi lagi-lagi itu menjadi keberuntungan tersendiri buat Alma karena ia bisa bertemu dan berkenalan dengan Ayah Bintang—yang selama dua kali ke rumah Bintang, ia belum pernah bertemu beliau. Sama seperti dugaan Alma, Ayah Bintang tampan. Meskipun ketampanan Bintang dan Ayahnya berbeda.
Setelah Ayah Bintang berangkat bekerja, tiba-tiba cowok itu menyeretnya ke garasi dan mengajaknya keluar dengan sepeda. Alma tidak tahu cowok itu akan membawanya kemana. Karena setiap Alma bertanya, cowok itu tidak pernah menjawab.
Ya ... tapi bukan Alma kalau bakal menyerah. "Bintang capek nggak gowes? Ini udah lumayan jauh loh. Mau gantian gue bonceng nggak?"
"Nggak usah." dan ini satu-satunya jawaban yang Alma terima dari sekian banyak pertanyaan yang ia lontarkan.
Alma tahu, Bintang bukan tipe cowok dingin dan datar. Seperti kata tante Bunga, Bintang hanya akan berbicara disaat dia rasa penting. Dan sialnya menurut Bintang lebih banyak hal tidak penting di dunia ini daripada yang penting. Termasuk Alma, mungkin. Makanya cowok itu tak menggubris ocehannya.
Sepertinya Alma terlalu banyak melamun sampai tidak sadar bahwa Bintang sudah menghentikan sepedaya di depan sebuah toko bunga.
"Turun."
Alma turun sambil memandang toko bunga ini. "Kita mau ngapain disini?"
"Bukannya lo yang kemarin ngajak Eyang nanam bunga?"
Alma mengangguk. "Terus?"
"Nanam bunga butuh bibit, pot, pupuk, asal lo tau."
Alma hanya membulatkan mulutnya paham sambil menganggukkan kepala. Ia mengikuti langkah Bintang memasuki toko yang baik luar maupun dalamnya dipenuhi oleh bunga-bunga. Bintang terus berjalan dan berhenti di deretan rak-rak yang memuat berbagai jenis bibit-bibit tanaman yang dikantongi plastik. Bukan cuma bibit bunga, di sini juga banyak bibit sayuran.
Jadi selain menjual bunga dalam pot, toko ini juga menjual bibit, bahan dan peralatan berkebun seperti pot dan pupuk.
Bintang tampak membaca kertas bertuliskan nama bibit yang ditempel pada bagian depan plastik. Alma ikut melihat-lihat.
"Bintang, butuh saran nggak buat milih bibit bunganya?"
"Nggak."
Alma yang semula bersemangat akan memberikan saran bibit bunga apa yang sebaiknya Bintang beli, jadi mencebik. "Kenapa?"
"Eyang udah bilang ke gue buat beli bunga apa."
Masih dengan bibir menekuk, Alma bertanya. "Emang Eyang minta beliin bibit bunga apa?"
"Anyelir."
"Kenapa anyelir?"
"Tanya aja ke Eyang."
***
Mereka tidak menghabiskan waktu yang cukup lama di toko bunga. Setelah mendapatkan benda-benda yang dibutuhkan, mereka kembali pulang.
Alma meringis dengan ekspresi keberatan. Padahal yang menggowes sepedanya Bintang, tapi membayangkan kalau dirinya menggowes sepeda dengan membonceng seseorang, mungkin Alma sudah menyerah di tengah jalan. Dam bukan cuma itu, di keranjang sepedanya dipenuhi dengan kresek belanjaan. Alma makin meringis mengira-ngira seberapa berat beban yang dibawa Bintang sekarang.
Alma yang melemparkan pandangannya ke jalanan, jadi menyadari sesuatu. "Ini bukan jalan waktu kita berangkat tadi kan?"
"Bukan."
"Kenapa lewat jalan lain?"
Bintang menghela napas. "Kalo lewat jalan yang tadi, gue nggak yakin bisa gowes sepedanya sampe rumah, soalnya jalan tadi banyak tanjakannya."
Oh iya, saat berangkat tadi, mereka banyak melewati turunan. Otomatis jika mereka pulang melalui jalan yang sama, mereka akan banyak melewati tanjakan.
"Bintang, lo capek ya? Mau gue gantiin? Gue yakin kuat kok bonceng lo."
Bintang mendengus geli. "Gue yang nggak yakin."
Alma berdecak. "Yaudah, yang penting gue udah nawarin ya. Kalo sampe rumah nanti lo pingsan gara-gara kecapekan, jangan nyalahin gue."
"Iya."
Mendengar jawaban singkat dengan nada malas dari Bintang membuat Alma mengerucutkan bibir. Dia melemparkan pandangan ke kiri-kanan jalan. Mengamati pagar-pagar tinggi yang ada di sepanjang jalan.
Lalu matanya membulat senang saat menemukan sesuatu yang menarik. Ia menepuk berkali-kali punggung Bintang. "Bintang-Bintang-Bintang, berhenti!"
"Apa sih?!"
"Ih berhenti dulu. Gue pengen liat itu," kata Alma dengan binar senang sambil menunjuk sebuah tembok yang dipenuhi dengan hiasan mural.
Mau tak mau Bintang menghentikan sepedanya. Membuat Alma langsung melompat turun dengan tergesa. Lalu berlari ke arah tembok bermural itu.
Bintang masih berdiri di samping sepeda yang sudah ia standar, sambil melihat Alma yang tampak begitu takjub cuma karena sebuah mural. Seolah ini untuk pertama kalinya melihat mural yang digambar di tembok pinggir jalan.
"Bintang, sini dong!"
Cowok itu menghela napas malas, tapi tak urung tetap menghampiri Alma. "Apa?"
"Fotoin," ucap Alma sambil tersenyum dengan tangan menyodorkan ponsel.
Tanpa banyak bicara, Bintang menerima ponsel Alma. Ia memotret Alma dengan beberapa gaya dengan background tembok bermural.
Pada pose Alma yang sedang tersenyum lebar, Bintang sempat tertegun. Dia terpana pada senyuman Alma yang sudah sangat sering cewek itu berikan padanya. Tapi baru kali ini Bintang benar-benar memperhatikannya. Dan entah kenapa sekarang dia merasa menyesal sudah menyia-nyiakan banyak senyum manis itu.
Secara acak dia berpikir, bagaimana jika akan tiba masa di mana Alma sudah benar-benar muak dengan semua penolakannya dan cewek itu memilih berbalik pergi? Bagaimana jika suatu saat senyuman itu tidak lagi untuknya?
Tapi Bintang tidak paham dengan perasaannya sendiri.
Tiba-tiba saja tenggorokannya terasa tersekat. Cowok itu buru-buru menyerahkan ponsel di tangannya kembali ke pemiliknya.
"Ayo pulang, Eyang nungguin."
"Ih Bintang, tapi gue masih pengen foto lagi. Gue belum pose sambil megang bunga itu tuh," protes Alma sambil menunjuk tanaman rambat diatad tembok yang dihiasi bunga kecil-kecil.
"Terserah kalo lo mau gue tinggal."
Alma berdesis kesal. Cewek itu menendang kerikil kecil. Masih dengan raut kesal ia masukkan ponselnya ke saku celana lalu berjalan menyusul Bintang menuju sepedanya.
Langkahnya terhenti karena sesuatu. Tangannya meraba wajah bagian antara hidung dan mulutnya. Dan dia dibuat terdiam saat jari-jari tangannya menyapu darah yang mengalir dsri hidungnya. Ini hampir terasa familiar buat Alma. Selama satu minggu ini, untuk ketiga kalinya dia mimisan.
Alma buru-buru meraih sapu tangan di saku celana yang tidak terisi ponsel, lalu mengelap darah mimisannya dengan cepat sebelum Bintang menyadarinya.
Setelah selesai, Alma sedikit berlari kecil mengejar langkah Bintang. Kepalanya secara otomatis memikirkan banyak kemungkinan mengenai apa yang ia alami belakangan.
Sebenarnya, gue kenapa?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Astrophile
Teen FictionAku bisa melihatmu tanpa mata Aku juga bisa mendengar suaramu tanpa telinga Bahkan, aku bisa menggenggammu hanya dengan udara. Jadi, mungkin saja aku bisa mencintaimu tanpa kamu balas dengan rasa yang sama. *** Alma tidak sedang meminta Bintang yang...