Bab 10 - Risalah Hati

183 31 1
                                    

Seperti mencabut duri dalam daging yang akan melukaimu. Terkadang cinta bisa sesakit itu.

💫💫

Dengan suasana kelas yang sudah seperti medan perang, didominasi oleh teriakan Rahel sebagai iringan, Alma masih anteng duduk di atas meja dekat jendela dengan tembok sebagai sandaran. Asal Mario-nya tidak jatuh ke jurang, Alma tidak akan peduli meskipun teman-temannya baku hantam.

Sedangkan Rahel?

"Woi! Lo pada dengerin gue gak sih?!"

"Tugas dari Pak Is harus dikumpulin paling lambat besok! Kalo ada satu anak yang gak ngumpulin, resiko tanggung satu kelas!"

Dia sudah frustasi setengah mati. Menatap tingkah laku teman-temannya, mata Rahel bergulir ke kanan dan ke kiri. Rahel mendesah lelah. Dia sudah menyerah. Cewek itu duduk dengan kasar di kursi dekat Alma yang masih fokus dengan game di ponselnya.

"Ma," Rahel mengguncang pelan tubuh Alma sambil memasang raut nelangsa. Alma adalah harapan terakhirnya.

Alma bergumam sambil melirik sebentar, kemudian kembali menatap layar ponselnya.

"Bantuin gue," mohon Rahel.

"Wani piro?"

Rahel merengut, mengeplak kaki Alma yang selonjor di atas meja. "Gue serius, tai!"

"Punya penawaran bagus gak?"

"Contohnya?"

"Ngurangin jatah traktir, misalnya."

Rahel berdecih. "Itu mah maunya elo!"

"Ya terserah sih. Itu cuma contoh kecil."

Rahel diam. Ditraktir oleh Alma satu bulan itu ibarat kejatuhan jawaban di saat ujian. Yang artinya sangat menguntungkan. Dan, rasanya amat berat jika harus mengurangi jatah traktir yang baru ia dapat pagi tadi.

Tapi, memangnya Rahel punya pilihan lain? Bisa tamat riwayat nilai PTS matematikanya jika tugas ini tidak sampai ke tangan Pak Is. Kalau nilai teman-temannya sih, masa bodo.

"Oke, gue kurangin tiga hari," putus Rahel dengan berat hati.

Tapi Alma menggeleng. "Seminggu."

"Lima hari," tawar Rahel lagi.

"Seminggu."

"Iya-iya oke seminggu."

Alma yang mendengarnya jadi tersenyum cerah. "Nah gitu dong."

Dengan cepat Alma beranjak dari duduknya kemudian melompat ke depan kelas. Cewek itu mengambil buku tulis yang ada di bangku depan---tidak tahu milik siapa---menggulungnya dan menjadikannya sebuah mic.

"Dengerin woi dengerin, gue bakal adain traktiran!"

Seketika, kelas yang semula ricuh kini jadi sepi senyap. Hingga sebuah pertanyaan muncul. "Bener gak nih?!"

"Bener lah! Kapan sih gue bohong," sahut Alma yang masih berdiri di depan kelas.

Kelas kembali ramai. Kini anak-anak saling bersorak sorai. Rahel hanya bisa memutar bola mata melihatnya.

"Tapi gue punya syarat!" kelas kembali tenang. "Besok kalian harus ngumpulin tugasnya Pak Is. Gue gak peduli, udah selesai atau belum. Yang penting besok sebelum bel masuk semua harus ngumpulin."

Astrophile Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang