13

1 0 0
                                    


Maka Eri pun menjawab,

"Ya." Eri berkata sambil menatap mata Karl dengan penuh keyakinan.

"Aku menerima lamaranmu, Karl." Karl tersenyum bahagia mendengar jawaban itu. Dihembuskannya nafas yang bahkan ia tak sadar telah ditahannya. Diciumnya dengan penuh cinta pangkal jari manis Eri, tempat cincin itu seharusnya berada. Ia pun berdiri dan juga menarik Eri berdiri, jatuh ke pelukannya. Dengan lembut, diciumnya bibir Eri. Eri juga membalas ciuman itu. Ciuman itu menyampaikan semua perasaan yang ada di hati mereka.

Hanya salju yang menjadi saksi mereka. Mereka terus memegang erat satu sama lain hingga fajar menyingsing. Salju yang telah turun satu malam itu sudah berhenti. Karl meletakkan keningnya di kening Eri. Tubuhnya mulai memudar. Eri menakup wajah Karl dengan kedua tangannya seolah itu dapat menahan Karl lebih lama lagi.

"Eri, jangan lupa untuk makan." Kaki Karl mulai hilang.

"Ya."

"Rawatlah lukamu dengan baik, jangan sampai berbekas." Kedua tangan di sekeliling tubuh Eri berubah menjadi hawa dingin.

"Ya."

"Jangan berpikir untuk mati." Berat tubuh Karl mulai menghilang.

"Ya."

"Tetaplah hidup." Wajah Karl mulai memudar.

"Ya."

"Aku mencintaimu, selamanya." Bisik Karl dengan sisa kehidupannya.

"Aku juga mencintaimu, Karl." Eri membalas dengan sepenuh hatinya. Karl tersenyum dan menghilang di hadapan Eri. Langit berubah menjadi keunguan mendapat sinar mentari yang masih sedikit. Salju-salju merefleksikan warna itu dengan sempurna. Lampu air mancur padam seketika. Hanya Eri yang masih di sana.

Air mata sudah lama kembali mengalir di pipi Eri. Eri merasa tubuhnya tak bertenaga lagi. Ia tidak tahu untuk apa ia tetap di sana. Ia tidak tahu harus ke mana. Kepala pusing, seluruh dunia terasa berputar. Sebelum kesadarannya betul-betul lenyap, terdengar suara kakaknya yang memanggilnya begitu jauh.

Last SnowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang