The night when they meet at balcony
Mark mungkin terdengar terlalu bersemangat. Malam ini ia berdiri di balkon kamarnya di lantai dua. Menatap pemandangan sepi dari arah sebelah rumahnya. Ke arah balkon kamar seseorang yang ia tunggu sejak beberapa hari lalu.
Tangannya menggenggam ponsel pintar dengan layar yang masih menampilkan tampilan dari salah satu aplikasi chatting. Memperlihatkan sebaris kalimat yang baru saja berhasil ia kirimkan setelah mengalami perdebatan batin cukup lama.
Dengan keberanian yang susah payah ia kumpulkan, akhirnya laki-laki itu memutuskan untuk mengirimkan pesan kepada Koeun. Sahabat masa kecilnya yang entah kenapa malah menjadi semakin jauh semenjak mereka tidak lagi bersekolah di tempat yang sama.
Sabar, laki-laki itu menatap kearah jendela kamar perempuan itu. Menatap pergerakan siluet tubuh Koeun yang nampaknya sedang sibuk belajar. Yeah, dari dulu hobi perempuan itu tak pernah berubah.
Tanpa sadar, senyum kecil terkembang di wajahnya. Memikirkan bagaimana dulu dirinya yang memaksakan diri untuk betah menemani perempuan itu belajar mata pelajaran yang ia benci hanya agar ia bisa terus dekat dengan sahabatnya.
Lama ia menunggu dan Mark tak protes sedikit pun. Justru kini ia mengambil sebuah kursi dari kamarnya, meletakkannya di tengah-tengah balkon dekat tralis sambil memangku gitarnya. Memetikan nada-nada secara acak tetapi tak terdengar sumbang sama sekali.
Laki-laki itu terbangun kaget ketika melihat kamar di depan balkonnya itu menggelap. Koeun sepertinya sudah selesai belajar dan bersiap untuk istirahat. Dan parahnya, ia sepertinya tak membaca pesan yang sempat Mark kirimkan.
Bagaimana ini?
Mark sedikit panik. Meletakkan gitarnya begitu saja di pojok balkon. Kepalanya berputar mencari cara untuk membuat Koeun tersadar jika sejak tadi ia menunggunya. Dihubungipun, perempuan itu tak mengangkat panggilannya.
Ia sedikit tersenyum ketika mendapati pot tanaman hias yang ada di balkon kamarnya. Bergegas, Mark mengambil sebuah kerikil yang tidak terlalu besar juga terlalu kecil lalu melemparkannya kearah kaca jendela kamar perempuan itu.
Tuk... tukk.. tukk...
Beberapa kali lemparan tak berhasil membuat perempuan itu bangun. Tapi pada lemparan kelima, jendela terbuka. Menampilkan wajah bersiap tidur milik Koeun yang kini nampak cemberut. Mark yang sudah melemparkan kerikil kelimanya tanpa sengaja malah mengenai dahi perempuan itu.
"Mark, apa yang kau lakukan?" Koeun mendesis kesal. Tangannya tergerak mengusap dahinya yang memerah karena lemparan kerikil laki-laki itu. "Tidak ada kerjaan ya?"
Laki-laki itu meringis lucu sambil mengusap belakang kepalanya canggung. "Ya habis, kau aku kirimi pesan tidak dibalas. Kau tak membacanya pasti."
Kerutan muncul di dahi perempuan itu. Ia berbalik lalu mengambil ponselnya yang memang dinyalakan dalam mode diam. Tertawa lucu menatap wajah pura-pura kesal yang ditampilkan laki-laki di balkon seberang sana. "Aku tak dengar. Lagipula ada apa? Tumben mengirimiku pesan?"
Mark menggeleng kecil. Menatap sahabatnya itu masih dengan senyum terkembang. "Tidak ada. Ingin saja."
Bohong.
Jelaslah Mark punya keinginan terselubung dibalik itu semua.
Koeun mungkin tak sadar, tapi sekarang ini tanggal 17 Maret pukul 23.45. 15 menit lagi, perempuan itu akan bertambah usia. Dan itulah yang jadi tujuan utama Mark memintanya muncul di balkon.
Mark ingin menjadi yang paling pertama mengucapkan selamat ulang tahun. Menjadi seseorang yang Koeun ajak melewati detik-detik pergantian usianya. Dan menjadikan dirinya ini milik perempuan itu. Malam ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
WHAT IF? (mark + koeun)
Historia CortaWhat if? Bagaimana jika? Apabila Markoeun itu nyata adanya, mungkinkah hal-hal kecil disekitar mereka menjadi begitu manis? Atau malah sebaliknya? Yang jelas, ini kisah tentang Mark Lee dan Koeun. Kumpulan cerita pendek tentang Markoeun yang idenya...