3.1. Haruskah terbongkar?

3.2K 198 2
                                    

"Aduh" Aurell merintih, "Sakit Ka! pelan-pelan dong" Ujar Aurell sambil menepis tangan Kika.

Kika menghela nafasnya mencoba sabar dengan sahabatnya satu ini. Baru saja kapas itu mengenai jidatnya, tapi Aurell langsung histeris.

"Baru pengen gue bersihin Rell, belum gue kasih obat apa-apa juga"

Aurell bergidik ngeri membayangkannya. Kapas yang hanya dikasih alkohol itu saja sudah terasa perih apalagi obat?

"Diem!" Ujar Kika.

Sekarang kapas itu sudah diberi obat metah lalu dengan perlahan menyentuh luka di jidat Aurell. Perih, namun hanya sebentar saja. Kemudian perempuan itu menempelkan ansaplas dikapas yang baru dan sudah ditetesi obat merah.

Tangan Kika mengambil kapas yang baru yang di alkoholi membersihkan luka yang ada di lutut Aurell, tidak terlalu parah, hanya tergores. Sepertinya tergores oleh kayu yang retak.

"Ish" Aurell merintih, mencoba tidak berteriak saat kapas tersebut ditekan oleh Kika.

"Hehhe, habisnya lo diem terus sih" Ucap Kika tanpa dosa. Padahal dia yang nyuruh Aurell diam.

"Masih sakit?" Tanya Kika.

Aurell menggeleng kemudian menatap Ranz yang kembali datang. Ia menaruh beberapa minuman.

"Nih, lo kan gak suka yang bersoda jadi gue beliin air mineral aja" Ranz menyodorkan air mineral tersebut kearah Aurell.

Aurell menerimanya, "makasih"

"Hm"

Ranz duduk disamping Aurell, pria itu menatap Aurell dengan datarnya. Pria memikirkan mengapa ia masih mau berteman dengan perempuan seperti Aurell.

Padahal waktu dia berpacaran dengan perempuan lain, setelah putus Ranz tidak perduli dengan wanita itu. Bahkan Ranz menghilangkan diri di depan perempuan itu. Tapi kali ini berbeda, ia merasa dirinya semakin dekat dengan Aurell.

Ranz belum mengerti apa yang terjadi pada dirinya sendiri.

"Bos, buat gue mana?" Tanya Rio.

"Punya kaki'kan? Jangan punya Kika doang!"

***


Sehabis pulang dari Kampus, Ranz berinsiatif datang ke apartemen Brella. Pria ini merindukan perempuan itu.

Tangan kekarnya memasukan pin apartemen Brella.

PIP.

Pintu terbuka menunjukan sebuah ruangan yang rapih dan sedikit gelap karena lampu tidak dinyalakan.

Ranz menyalakan lampu itu, menatap sekeliling apartemen itu. Rasanya sulit dipercaya.

Tanpa sadar air mata Ranz menetes, dengan cepat Ranz menepisnya dengan kasar.

"Brell?"

Tidak ada sahutan dari apartemen ini membuat Ranz semakin tidak percaya jika Brella sudah tidak ada. Ranz menyesal sekarang Brella belum mendapatkan hak yang seharusnya gadis itu dapat.

"Brell, gue tau lo pasti kecewa sama keputusan gue nanti"

Ranz duduk di sofa kemudian mengambil foto kecil di meja.

"Tapi gue gak bisa diam aja. Gue tahu akibat yang akan gue ucapin ini. Hancur mungkin? Tapi gue gak bisa ngeliat lo sengsara" Tangan Ranz meremas bingkai foto itu.

Cewek Cupu vs Bad Boy [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang