Sudar adalah seorang pelukis. Sudah berhari-hari dia frustasi karena dia tidak menemukan apapun untuk dilukis. Sebenarnya di alam semesta ini ada banyak hal yang bisa dilukis, tapi kata Sudar, "Aku butuh inspirasi." Dan inspirasi itu tak kunjung datang.
Si kancil, seperti biasa, menikmati harinya dengan berjalan-jalan kemana saja, berjalan jauh, mencari pengalaman baru. Di sebuah rumah, di tepi sungai, dia melihat seorang pria kurus dan berambut shaggy sebahu sedang duduk termenung. Si kancil sudah pernah bertemu dengannya. Dia mendekat untuk menyapanya lagi,
"Selamat pagi, Tuan."
Sudar memandang kancil dan berkata, "Selamat pagi, Kancil. Eh, aku belum ada makanan untukmu."
"Saya tidak lapar, Tuan. Saya ingin melihat Tuan melukis, seperti biasanya." Si kancil di pertemuan pertama menjumpai Sudar sedang melukis onta.
"Hari ini, aku mati inspirasi. Tidak ada yang bisa kulukis. Mungkin aku stres karena aku didesak oleh sesuatu. Aku harus pameran minggu depan dan jumlah karyaku sekarang belum mencukupi."
"Tuan, mengapa tidak melukis saya saja. Tuan belum ada lukisan kancil."
Sudar tertawa, "Kamu sangat perhatian." Tapi aku lebih suka mengobrol saja kali ini denganmu. Melukis bisa aku kerjakan saat inspirasi itu datang.
"Inspirasi... hmmm..."
"Jika kamu adalah inspirasi, maka rupamu, gerak tubuhmu, kata-katamu atau apapun tentang kamu bisa membuatku melakukan sesuatu, aku bisa melukis karenamu."
"Bagaimana cara saya supaya bisa menjadi inspirasi, Tuan?"
"Spontan aja. Tidak ada cara tertentu supaya kamu menjadi inspirasi."
Kancil merenungkan kata-kata Sudar dan kedua makhluk itu berdiri berdampingan dengan pikiran yang berlainan. Sudar menyentuh dagunya. Si kancil spontan menyentuh dagunya sendiri dan tak lama kemudian dia menyadari sesuatu,
"Tuan, Saya mendapat inspirasi darimu!"
Sudar tidak menyangka kalimat itu meluncur dari mulut kancil. Dia terpana dan tergelak, "Oh, ya. Apa yang membuatmu terinspirasi, Kancil."
"Saat Tuan memegang dagu, itu membuat saya jadi ikut memegang dagu."
"Aha! Aku juga mendapat inspirasi darimu, Kancil. Aku akan melukismu saat memegang dagu." Sudar pun segera mengambil peralatan lukisnya untuk di bawa ke halaman.
Sudar terus menerus tersenyum dengan inspirasi yang didapatnya. Dia meminta kancil untuk berpose menyentuh dagu selama mungkin. Sudar kadang-kadang tertawa saat melukis. Matanya berbinar-binar. Si kancil mengamati satu hal: saat manusia mendapat inspirasi, mereka akan bahagia. Kancil suka dirinya menjadi inspirasi.
"Oh, istirahat dulu kancil. Kamu pasti lelah menyentuh dagumu terus."
"Tidak lelah, Tuan. Saya suka menjadi inspirasi."
"Ahaha. Tapi sketsamu sudah jadi, tinggal penyempurnaan warna saja. Lihatlah ini." Sudar meminta kancil untuk melihat dari dekat sketsa dirinya.
"Oh," si kancil merasakan sesuatu yang wow di dalam dirinya. "Tuan, saya.. saya.. sangat menyukai ini." Kancil tidak mampu menyampaikan apa yang dirasakannya. Dia juga sangat bahagia.
Selanjutnya kancil menunggui Sudar menyelesaikan lukisannya. Oh, ada yang membuat si kancil tersipu malu. Sudar memperjelas gigi taring kancil yang mencuat keluar. Si kancil lantas teringat kelinci putih. Si kelinci putih bilang, giginya yang keluar itu bukan tonggos, tapi gingsul.
Tak terasa hari sudah begitu siang dan bahkan mulai menjelang sore. Waktu berlalu begitu cepat. Melukis sambil ngobrol, semua itu begitu mengasyikkan. Kancil jadi ingat waktu, karena dia merasa lapar.
"Tuan, saya mau mengunyah daun di luar sana."
"Oh, iya. Kamu sudah lapar ya. Aku akan membelikanmu pisang. Kamu tunggu di sini."
"Tidak perlu, Tuan. Saya bisa memakan apa saja. Tuan tidak perlu membeli apapun. Lanjutkan saja melukisnya. Ngomong-ngomong, apakah Tuan tidak lapar?"
"Ahaha. Saat terinspirasi, aku bersemangat dengan apa yang kukerjakan dan tidak merasa lapar. Kancil, aku hanya punya biskuit, apakah kamu doyan biskuit? Atau kamu bisa mencoba dulu. Kalau tidak enak, kamu bisa mencari rumput, oke?"
Kancil tertarik dengan ide mencoba makanan baru. Dia mengangguk setuju.
Sudar pun ke dapur mengambil kaleng biskuit. Di depan kancil dia membuka tutup kaleng dan menyodorkan biskuit di telapak tangannya ke mulut kancil, "Ayo, dicoba."
Kreg kreg kreg, kancil memamah biskuit. Rasanya aneh tapi dia mengenali satu rasa, yaitu manis. Itu seperti paduan singkong, ubi jalar, pisang, apel, pepaya dan entahlah. Dia bisa makan biskuit, tapi karena belum terbiasa, dia hanya menghabiskan satu keping,
"Tuan, ini sudah cukup. Lain waktu, saya akan mencoba mengunyah biskuit lagi."
"Iya. Eh, ngomong-ngomong, panggillah aku Sudar."
"Sudar."Si kancil tersenyum, "Panggil saya Magy." Dia sangat bangga menyebut namanya, nama yang diberikan oleh si Nona.
Sudar berjongkok lalu mengelus kancil dari kepala ke punggung tanda persahabatan. "Magy, maukah kamu kesini lagi besok?"
"Iya." Si kancil akan menjumpai Sudar lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Magy Si Kancil Ajaib
Short StorySetelah sakit keras, si kancil tidak lagi nakal, tapi jadi suka menolong. Dengan perubahannya itu dia berangsur-angsur memiliki kekuatan super dan dinamai Magy (magic, ajaib) oleh seorang anak manusia. Namun demikian, memiliki kekuatan super bukan b...