17

1.9K 210 17
                                    

Hanya hari-hari ku bersamamu yang mengingat ku untuk tetap hidup pada dunia yang luas dan sepi ini.

Kemudian, saat pulang tak ada kata yang tepat menggambarkan perasaan baik pagi ini di wajah Jennie

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



Kemudian, saat pulang tak ada kata yang tepat menggambarkan perasaan baik pagi ini di wajah Jennie. Hanya segaris senyuman Jisoo yang membuatnya bertanya 'kenapa?'
Ya, kenapa se-pagi ini Jisoo sudah berada di rumahnya. Bangkit dari sofa ruang tamu dan berjalan ke arahnya.

"Hari ini pesta mu kalau kau lupa."

Ya. Ini pesta milik Jennie. Pestanya yang ia lakukan seperti tahun kemarin karena kegagalannya masuk Universitas negeri.
Kali ini, beda. Ia sepakat membuatnya hanya dengan menjadi pesta mengikuti ujian masuk kampus. Benar-benar ia akan berterima kasih pada sahabatnya, Jisoo.

"Ayo kita bersiap." Ucap Jisoo.

Jennie mengikutinya menuju kamarnya sendiri. Jisoo yang memimpin jalan untuk membantu persiapan mereka sekedar berbelanja bahan makanan.

"Kau tahu—."
Jisoo memberhentikan ucapan Jennie. Ia menunjuk pada bibirnya. "Hari ini Jaewon dan Hanbin juga akan membantu. Kau harus bergegas." Kemudian dengan leluasa ia mendorong punggung gadis itu menuju depan almari. Bermaksud mengambilkannya baju untuk mereka pergi ke supermarket.


Dihadapannya, dua orang pria tampan namun sedikit bereaksi bodoh sedang menunggu sang boss untuk masuk ke dalam mobil. Jisoo minta agar keduanya tak bahas apapun soal hubungan Jennie dengan siapa dan bagaimana perkuliahannya. Itu akan membuat sahabatnya tersinggung.

Mereka kini duduk di kursi mobil. Jennie dan Hanbin di kursi depan. Jisoo dan Jaewon duduk berdua di belakang.

Keempatnya diam. Hany musik klasik yang menemani perjalanan mereka selama beberapa menit ke supermarket.

Setelah sampai, Jisoo dan Jennie membeli beberapa daging dan sayur sementara Jaewon dan Hanbin berpasangan untuk mencari kebutuhan lainnya.
Jennie tersenyum girang manakala ada anggur segar di hadapannya. Ia mengambil beberapa dan meminta Jisoo untuk membantunya. Sambil tersenyum, Jisoo menuruti.

Dulu, sebelum dirinya lulus SMA. Jisoo merasa bahwa kedua sahabatnya—Jennie dan Rose—adalah remaja beruntung yang lahir dari keluarga kaya. Diberkahi rumah mewah, kepintaran bahkan jika mereka tak pintar pun. Mereka akan tetap hidup. Jisoo selalu berpikir, dirinya tak lebih baik dari orang lain apalagi kedua sahabatnya itu. Mengetahui pertemanan mereka yang bahkan bertahan meski Rose telah pindah ke luar negeri membuat Jisoo bangga. Ia adalah orang yang beruntung juga. Memiliki teman teman seperti Rose dan Jennie. Ia tahu ia bodoh. Ia menyadari itu. Tetapi, rasa bangganya memiliki teman seperti Jennie tak lain hanyalah di angannya saja sampai ia menjadi seorang manajer di club Alexis. Ya, Jisoo egois. Ia tidak berhak menerima jabatan itu, ia hanya gadis biasa yang sama seperti Jennie tak lulus ujian masuk Universitas negeri, bahkan ia lebih buruk. Jika ia ingin kuliah pun, saat ini tak mampu masuk ke perguruan tinggi swasta dengan biaya yang tinggi.

Ia selalu merasa beruntung.
Sampai ia tahu, Jennie hanyalah Jennie. Jennie juga merasakan cinta dan hubungan serta patah hati. Sama seperti dirinya yang menyukai Hanbin lewat percakapan biasa mereka di club. Antar rekan kerja. Antar meja. Dan hanya bertatap muka seperti biasa.
Jennie menyukai ahjussi nya yang selama ini tinggal di rumah Jennie sebagai penyewa kamar.
Bodohnya, Jennie tidak tahu. Masalah apa yang kini tengah dihadapi Taehyung.
Jisoo ingin menutupinya. Membuat semua baik-baik saja. Ia akan menuruti perjanjiannya dengan kuasa hukum Taehyung untuk tidak memberitahukan dimana keberadaan Taehyung saat ini pada Jennie. Untuk berjaga-jaga, ponsel pria itu pun kini di tangan Jisoo. Setelah mempelajari gaya tulisan teks pesan Taehyung, Jisoo-lah yang selalu membalas jika Jennie mengirimkan pesan pada kakao Taehyung. Sampai saat ini.


Dua hari lalu...

"Cepat keluar Kim Taehyung!"
Suara debaman pintu yang dipukul keras masih terdengar.
Taehyung berusaha untuk menahannya.
Sayangnya, dengan sekali dobrak setelah tendangan pada pintu tersebut. Taehyung jatuh tersungkur. Seorang pria dengan pistol di tangan mengancamnya.
Taehyung hanya tersenyum sinis. Mengetahui kakaknya, Kim Namjoon dengan senjata di tangan.

"Kau tidak lebih dari ular Taehyung... Berhenti bermain-main di rumah orang lain! Kau pikir kau siapa? Apa kau tulus untuk tinggal di sini? Atau hanya mencoba untuk mendapatkan kekayaan dari si tuan rumah?"

"Aku bukan kau hyeong"

"CIH." Namjoon melempar pistolnya.
Ia mengeluarkan sebuah surat dari selipan saku belakang celananya. Dengan nada tak suka ia memperjelas, "Pulanglah ke rumah! Untuk terakhir kali saja. Seokjin akan bercerai dan Shuhua jatuh sakit."

Taehyung enggan memungutnya.
Karena tak ada reaksi apapun, Namjoon menggeledah lemari tak terkunci di kamar Taehyung. Setelah mendapat apa yang ia inginkan. Ia merobek begitu saja di hadapan Taehyung. Itu adalah surat waris.
"Kita tidak perlukan ini. Kau tahu, aku jijik harus memintamu untuk terus datang. Aku tahu aku gagal sebagai kakak tertua. Tapi aku muak mendapati kau tidak peduli bahkan dengan kakak-kakakmu. Kau mungkin tidak tahu betapa Seokjin mencoba untuk terus menutupi hutang perusahaan dan membiarkan mu tetap memperoleh bagian agar nominal angka di rekening bank Swiss mu tetap bertambah. Kau bisa melihat kegagalanku pada perusahaan dan sebagai Kakak tertua. Tapi memintamu untuk peduli barang sedikit saja pada keluarga-mu. Aku muak."

Taehyung tidak bereaksi.

"Kau sudah dewasa sebagaimana aku. Mau kau pergi ke ujung dunia pun. Kita tetap memiliki hubungan darah saudara kandung. Pikirmu aku gila harta? Mendapati Shuhua sakit setelah ia menjadi kekasihmu, membuatku tahu. Kau bahkan tidak benar-benar mencintainya. Aku pamit."

Setelah Namjoon keluar.
Taehyung mengacak meja belajar dan laci-lacinya secara frustrasi.

Bodoh
Bodoh
Bodoh

Memang, sejak kematian kedua orangtuanya. Ia tidak benar-benar menjadi utuh. Yang ada di pikirannya bahwa ia gagal menjadi anak yang baik. Anak yang tidak sempat memberikan kebahagiaan apapun pada ibu dan Ayahnya.
Ia cenderung memikirkan rasa ketidakpunyaan nya dan kurangnya kasih sayang ia dapat untuk menengok sebentar saja pada kedua kakaknya itu.
Ia hanya mencoba pergi setelah mendapat apa yang ia harus dapat. Ia berkelana di Eropa meski tak menjadikan dirinya bergelimang harta. Menumpahkan rasa kebingungannya atas kehadirannya di dunia. Ada kah masa depan yang baik jika ia hanya terlahir dari keluarga maha biasa?


Sekarang, setelah ia dan Jennie memadu kasih. Ia tahu, Jennie bisa jadi matahari paginya. Bumi menjadi terang di pagi dan ditemani cahaya bintang dari malam saat Jennie tertawa dan tersenyum.
Ia cukup egois sebagai seorang adik yang tidak peduli pada keadaan dimana keluarga kandungnya berasal.
Ia hanya tahu, setelah menetap ia bisa dapatkan kebahagiaan-nya.
Ia hanya tahu seperti itu. Ia lupakan semuanya tapi tidak sampai Namjoon datang.
Bagaimanapun, 20 tahunnya hidup bersama Seokjin dan Namjoon pernah terjadi pada dirinya.

Lantas, Taehyung berlari menuruni anak tangga. Mengejar Namjoon yang tengah memanaskan mobil di halaman depan.

Brug!
Setelah pintu mobil tertutup dengan Taehyung duduk di sisi Namjoon.
Suara terengah-entah ya terdengar, "hh— Shuhua sakit apa?"

"Kanker Serviks. Minggu depan ia akan operasi."

Inilah mengapa, semenjak pernikahan mudanya. Shuhua tidak diketahui hamil atau Memilliki anak.
Jadi, keluarga kecil Namjoon tidaklah bahagia?

"Hyeong, Apa kau akan baik saja?"

Tanyanya pada Namjoon ketika fokus menyetir.

"Aku baik selama Shuhua baik. Maafkan aku mengambil dia darimu."

"Itu masa lalu. Dan, kau benar. Aku tidak pernah membuatnya bahagia."

Namjoon diam.
Kemudian, Taehyung berucap. "Hyeong terimakasih."

𝙎𝙚𝙧𝙫𝙞𝙘𝙚 𝙙𝙚 𝘽𝙖𝙧 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang