🦋1. I Lost Her

5.4K 298 20
                                    

Jeno

Semangkuk nasi soto menu makan siang gue langsung terabaikan begitu gue selesai nerima telepon yang ngga terduga. Gue udah ngga peduli lagi diliatin orang - orang kantor, gue cuma bisa mikir buat lari secepat mungkin menuju mobil gue yang ada di parkiran.

Detakan jantung gue udah ngga karuan lagi. Semua suara di sekitar gue rasanya udah keredam sama kencengnya suara detakan jantung gue sendiri. Lama - lama bukan cuma jantung gue aja yang detaknya jadi cepet banget gara - gara gue lari, tapi kaki dan tangan gue jadi gemeteran juga.

Gue bener - bener ngga percaya sama apa yang barusan gue denger. Ngga, lebih tepatnya gue masih ngga mau percaya sama berita itu.

Seoyeon

Jeno! Jeno di mana, sih?? Demi apa pun, aku sangat panik saat ini. Aku berlari menuju ICU rumah sakit ini namun aku tidak menemukan sosok Jeno di mana pun.

Aku berusaha menarik nafas dan menghembuskannya perlahan untuk menenangkan diriku dan mulai mencari Jeno lagi. Andai saja Jeno mengangkat teleponku sejak 5 menit yang lalu, pasti semuanya akan lebih mudah.

Aku pun naik ke lantai 2, berharap menemukannya di sana. Aku melihat seorang laki - laki sedang terduduk sendirian di kursi tunggu dekat lift di lantai 2. Seorang laki - laki dengan kemeja merah maroon yang lengannya digulung hingga siku, dasi hitam yang menggantung longgar di lehernya, celana panjang kain dan sepatu pantofel dengan warna hitam senada.

Namun ada satu hal yang terlihat sangat familiar dari laki - laki tersebut. Yaitu gelang kulit warna putih yang tersemat di pergelangan tangan kirinya bersama jam tangan kesayangannya. Tidak perlu waktu lebih lama lagi bagiku untuk menyadari siapa laki - laki yang sedang kulihat ini.

"Jeno?"

Dia mendongak dan menatapku dengan tatapan lesu. Walaupun begitu, dia tetap memaksakan sebuah senyuman padaku saat dia berdiri menghampiriku.

"Udah dateng?"

Kalau kami tidak sedang ada di situasi seperti ini mungkin aku akan membalas pertanyaannya dengan "Ya iyalah, orang udah di sini." atau "Menurut kamu?" Tapi, sekarang bukan saat yang tepat untuk membalas omongannya dengan kata - kata sarkastik.

"Jen..."

Jeno memaksakan sebuah senyuman lagi, tapi kali ini sebulir air mata lolos dari mata kirinya. Aku dapat melihat bibirnya bergetar menahan tangisnya dan kedua telapak tangannya yang mengepal erat. Aku berusaha untuk memperhatikan wajahnya sekali lagi. Keringat yang menetes dari pelipisnya membuat beberapa helai rambutnya menempel pada kulitnya, warna kulit wajahnya lebih pucat dari biasanya, dan kedua kelopak matanya terlihat sedikit bengkak dan merah.

"Mending kamu duduk aja, Jen. Tenang dulu ya. Aku percaya dia ngga bakal kenapa - napa kok. Dia kuat."

Aku menggiring Jeno ke kursi yang tadi dia duduki dan membantunya untuk sedikit lebih tenang. Padahal, dalam hati mungkin aku juga sama takutnya dengan Jeno. Namun mau bagaimana lagi, hal paling kecil yang bisa kulakukan saat ini adalah menenangkan Jeno.

Jeno hanya mengangguk padaku lalu menumpukan kedua sikunya di atas lutunya dan menyilangkan jari - jari di kedua tangannya. Telapak kakinya tidak berhenti mengetuk - ngetuk lantai sehingga mengisi keheningan di lorong ruang tunggu ICU ini. Aku melihat sekitar dan kembali melihat Jeno. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya harus duduk sendirian di sini sampai aku datang dari rumah sakit tempatku bekerja. Dingin, sunyi dan digeluti rasa khawatir.

"Mama papa kamu...?"

"Mereka langsung berangkat ke sini dari Bogor."

"Kalo mama papanya-"

autour • lee jenoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang