Seoyeon
Sabtu pagi pukul 9 lewat 15 menit, seharusnya sebentar lagi Jeno tiba di Jakarta. Sekarang aku hanya tinggal menunggunya untuk menelponku kalau dia sudah perlu dijemput. Kebetulan hari ini aku libur makanya Jeno memintaku untuk menjemputnya dari bandara.
Sebenarnya pikiranku masih kacau dan aku mengurangi aktivitasku untuk keluar rumah karena rasanya sumpek untuk bertemu orang - orang. Aku pun juga masih sedih perkara pertunanganku dan kak Doyoung yang batal karena dia harus menjadi volunteer di Kalimantan. Namun karena ini demi Jeno, tentu saja aku tidak mungkin menolak permintaan tolongnya. Lagipula aku juga belum cerita pada Jeno sama sekali karena dia baru pulang dari business tri-nya di luar negeri minggu ini.
Selain karena dia sibuk, aku takut untuk cerita pada Jenokarena selain aku dan kak Doyoung sendiri, Jeno adalah orang yang paling menanti - nanti pertunanganku ini. Bukan takut sih... hanya saja aku tidak ingin membuatnya kecewa juga. Apalagi dia juga banyak membantuku dan kak Doyoung memberi saran untuk pertunangan kami.
Dering telpon yang dari tadi ku nanti - nanti akhirnya datang juga. Sudah bisa ku tebak kalau namanya Jeno yang terpampang di layar handphone-ku tanpa perlu ku lihat.
"Iyaaa ini berangkat." ucapku setelah aku mengangkat telponnya.
"Siapa yang mau minta jemput? Kamu masih di apartemen, kan? Ngga usah jemput gapapa, aku naik taxi aja."
"Lah kok gitu?"
"Aku ke apart kamu sekarang."
"Langsung? Ngga balik ke rumah kamu dulu?"
"Udah tunggu aja."
Aku tidak sempat menjawab sebelum dia langsung memutus telepon kami. Padahal kemarin dia yang ngotot untuk minta dijemput, sekarang malah dia yang tidak ingin dijemput.
Entah kenapa tapi Jeno terdengar tergesa - gesa. Dan memang se-urgent apa untuk bertemu denganku secepatnya setelah dia tiba di Jakarta? Kan masih bisa nanti - nanti.
Aku mengesampingkan pikiran - pikiranku sejenak dan bersandar di sofa sambil menutup mata. Akhir - akhir ini kepalaku rasanya berat memikirkan banyak hal. Pekerjaan lah, tentang kak Doyoung lah, apalagi reaksi ayah dan bunda saat tahu aku tidak jadi tunangan bulan depan. Walaupun akhirnya mereka paham dengan situasinya, tapi tetap saja aku dapat merasakan kekecewaan mereka pada awalnya.
Huft... Belum lagi kalau Jeno tahu, sepertinya bisa - bisa digorok aku karena tidak memberi tahunya lebih awal.
Aku mengecek handphone-ku untuk melihat pesan dari kak Doyoung namun dia belum membalas pesanku dari semalam, mungkin dia belum bangun. Akhir - Akhir ini kak Doyoung memang sibuk mengurus berkas - berkasnya untuk berangkat ke Kalimantan minggu depan. Aku pun belum bertemu lagi dengannya.
Telepon dari Jeno membuyarkanku dari lamunanku, pasti dia sudah sampai di lobby. Dengan segera aku menyusulnya. Jeno tidak membalas sapaanku, ekspresinya datar dan hanya diam saat dia berjalan mengikutiku menuju apartemenku. Aku tidak terlalu ambil pusing, kupikir dia hanya lelah karena baru pulang dari luar negeri.
"Udah makan, Jen?" tanyaku sambil menyiapkan minuman untuk aku dan Jeno.
Jeno yang sekarang sedang duduk bersandar di sofaku tidak menoleh padaku dan membuang nafas dengan kasar, "Kamu kenapa ngga cerita sama aku, sih?"
Otomatis aku membeku. Tanpa kutanya pun aku tahu apa yang dimaksud Jeno barusan. Namun yang membuatku penasaran, dia tahu dari mana?
Aku menghampirinya dengan meletakkan segelas jus jeruk di depannya dan menyesap segelas untuk diriku sendiri. Aku masih belum ingin menjawab pertanyaannya. Jujur, aku tidak ingin memikirkan hal itu di hari liburku begini.
KAMU SEDANG MEMBACA
autour • lee jeno
Hayran Kurgu[facade sequel] lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. meskipun itu membutuhkan waktu yang lama, semuanya pasti setimpal. 190617