🦋15. Video Call

1K 111 2
                                    

Seoyeon

Aku bingung sebingung - bingungnya sekarang. Dari tadi Jeno masih diam dan duduk termenung sejak Jiho jatuh dari perosotan. Dari raut mukanya saja aku tahu pikirannya pasti sedang berkecamuk saat ini.

Bagaimana dengan Jiho? Dia sudah berhenti menangis dan duduk manis di pangkuanku sambil memakan sisa wafer yang tadi kuberi padanya. Beruntung pula aku membawa P3K di mobil, luka di dahi Jiho pun dapat segera ku obati.

"Eyon."

Jiho mengangkat sebuah wafer ditangannya dan mengarahkannya padaku.

"Aaaa."

Aku hanya tersenyum dan menggeleng. Sebagai gantinya, aku menunjuk Jeno yang masih memandang kosong ke depan.

"Enyo."

Jeno terlihat tidak merasa dipanggil. Dia masih diam tanpa menoleh ke arah Jiho.

"Papa Enyo."

Jiho memanggilnya lagi tapi masih sama saja. Jeno akhirnya menoleh saat aku menyenggol lengannya dan menunjuk Jiho yang telah mengulurkan sebuah wafer ditangannya.

"Mamam." ucap Jiho.

Respon Jeno sama sepertiku, tersenyum dan menggeleng.

"Buat Jiho aja."

"Nnggg."

Jiho tetap memaksa dan mendorong wafernya ke arah mulut Jeno hingga akhirnya Jeno pasrah lalu membuka mulutnya.

Aku tahu Jeno masih merasa bersalah pada dirinya sendiri. Kebiasaan Jeno yang sangat kuhafal kalau dia sedang merasa bersalah, yaitu hanya diam dengan pandangan yang merenung. Walaupun Jeno akhirnya akan menceritakan keluh kesahnya, tapi dia pasti akan menghabiskan waktu untuk merenung seorang diri terlebih dahulu.

"Jen. It's okay."

Jeno menoleh padaku seraya menghela nafasnya. Matanya beralih ke Jiho yang masih asik makan wafer di pangkuanku.

"Kamu mikirin apa, sih?" tanyaku penasaran.

Jeno menatapku sejenak sebelum akhirnya berbicara pertama kali semenjak 10 menit yang lalu kita duduk di bangku taman ini.

"Payah banget aku ngga bisa jaga Jiho. Padahal di depan mata aku."

"Ya gapapa."

"Gapapa, gimana? Jidatnya sampe lecet gitu. Kalo aku ngga lengah pasti ngga bakal jatuh kan dia?" ucap Jeno dengan nadanya yang meninggi. Di saat seperti ini, aku tahu untuk tidak terpancing emosi juga. Bisa gawat situasinya.

"Jiho, sakit?"

Jiho mendongak padaku dan menatapku dengan mata hitamnya yang bulat dan besar.

"Huhuuu." bibirnya mengerucut dan matanya terpejam sejenak sebelum Jiho membuka matanya dan menatapku lagi ambil tertawa.

"Eh, dasar. Pura - pura sakit, ya?" ucapku sambil mencolek pipinya.

Ya ampun, tingkahnya sama saja peserti papanya, sama - sama tengil.

"Tuh, Jiho aja ngga kenapa - napa. Ya aku paham, namanya orang tua pasti ngga mau liat anaknya luka. Tapi kamu ngga usah khawatir lah. Lukanya cuma lecet dikit kok, lagian temen kamu ini dokter loh, kalo pun lukanya parah aku tau harus ngapain kok."

"Iya, tapi tetep aja... Aku ngga tega."

"Wajar, Jen. Namanya juga anak main di luar pasti ada resikonya. Kamu dulu juga waktu kecil luka di mana - mana, kan?"

Aku menunjuk lututnya, "Di sini," sikunya, "di sini," dagunya, "di sini," yang terakhir di dahinya, "di sini juga. Persis Jiho sekarang."

Jeno hanya berkedip menatapku, sepertinya mengingat - ingat luka - luka lecetnya pada masa kecilnya dulu.

autour • lee jenoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang