Dag dig dug!
Bunyi itu sungguh mengganggu pendengaran Suta. Dirinya yang sedang asik membaca komik terpaksa berhenti dan mendapati Endra sibuk bergendang di meja. Telinganya tersumbat headset yang tersambung ke ponsel jadul, yang katanya mampu untuk melempar anjing.
"Woi En! Diem." Endra bergeming, masih sibuk bernyanyi tidak karuan disertai gendang yang tidak sinkron.
Plak! Satu geplakan komik mampir di kepala belakang Endra. Sang empunya kepala pun menoleh dan melepas headset dengan gerakan gusar. Matanya memindai Suta sebal, "Sakit woi!" suaranya mampu membuat satu kelas berhenti beraktivitas, namun saat tau Endra yang berteriak mereka langsung sibuk lagi.
Beginilah kalau kelas tidak ada guru. Kacau! Bagi Suta ini keadaan paling dia tidak suka. Dia benci kebisingan, sangat berbeda dengan Endra yang menganggap ini adalah surga kecil di dunia. Dia bisa nyanyi-nyanyi bebas, tidur dengan punggung bersandar di kursi dan kaki bertengger di meja layaknya bos besar.
"Lo lagi datang bulan atau gimana sih?" tanya Endra kesal. Hari ini Suta ngeselin. Baru datang sekolah tadi saja laki-laki itu sudah menghabiskan roti yang Endra beli, padahal itu sarapannya.
Suta mengendikkan bahu, "Gue patah hati bos."
Endra meringis, sahabatnya itu memang akrab dengan masalah hati. Berbeda sekali dengan Endra yang sangat tidak peduli. Yang dia pedulikan hanya nongkrong, futsal dan tidur. Dia masih normal, hanya saja menurutnya mengurusi perempuan itu ribet dan menguras kantong tentunya.
"Kenapa lagi lo? Ditolak?"
"Gak secara blak-blakan sih, tapi secara halus. Dia bilang mau fokus belajar," curhat Suta. Komik yang dari tadi dia pegang, disingkirkan sejenak ke kolong meja.
"Klasik banget," komentar Endra. Walaupun tidak pernah berhubungan serius dengan perempuan, Endra sudah hafal dengan alasan klasik seperti itu. Tinggal bilang aja gak suka emangnya susah, ya? Pake bawa-bawa belajar segala. Sok belajar, padahal setiap pelajaran sibuk selancaran di media sosial sembunyi-sembunyi di bawah meja.
"Ah! Tau gini gue gak ngelepasin Chia. Rugi banget dah." Sesal Suta. Lelaki berkulit pucat itu memang terkenal dengan mantan yang seabrek. Memang wajahnya menjual sekali, namun ada dua kelebihan lagi yang dia miliki, yaitu uang dan mulut semanis madu. Perlakuannya terhadap perempuan pun mampu membuat setiap incarannya meleleh seketika. Lain dengan Endra, setiap ada perempuan cantik ditegur dengan teriakan, "Woi!". Ya mana mungkin sih perempuan mau, yang ada lari tuh perempuan.
"Ini karma namanya, Ta. KARMA." Endra menekankan saat menyebut kata 'karma'. Berharap sahabatnya sadar kalau bermain dengan perempuan itu bakalan mengakibatkan bencana. "Udahlah, mending lo nanti malem join gue ngopi."
"Gue ada rapat."
"Rapat apaan?"
"Sispala. Gue mao ke bukit bahu minggu depan."
"Halah, buat capek badan aja," ujar Endra songong. Dia kembali menyumbat telinganya dengan headset, kembali memulai ritual.
Plak!
"Apaan lagi sih?" tanya Endra berang.
"Lo kira futsal gak buat capek badan hah?"
"Tapi kan itu olahraga," sangkal Endra.
"Ya sama aja, En." Balas Suta malas.
"Beda sih menurut gue."
"Serah lo aja lah." Suta kembali berjibaku dengan komiknya sementara Endra dengan konser dadakannya.
Begitulah mereka, tidak pernah tidak terlibat cekcok tiap harinya. Kepribadian dan background yang kontradiksi tak lantas membuat pertemanan mereka bubar. Justru semakin mengerat dengan adanya perbedaan. Kalau kata orang sih 'saling melengkapi' lah. Sstt, jangan sampai kedengaran Endra ataupun Suta, mereka pasti akan ngamuk dengar dipuji kayak gitu.
Nah, selamat datang dipersahabatan Endra dan Suta!
*
KAMU SEDANG MEMBACA
Endra & Suta
Teen Fiction[WARNING! Cerita ini mengandung konten kekerasan] Ini bukan romansa anak remaja. Bukan. Ini tentang persahabatan antara Endra dan Suta. Dua lelaki kelas XI yang hidupnya baru saja diubah oleh takdir. Tidak ada lagi kehidupan sesederhana nongkrong, m...