DELAPAN BELAS

10 1 0
                                    

Keesokan paginya, Endra harus menguatkan mental saat akan sarapan di bawah. Sebenarnya dia berencana untuk tidak sekolah hari ini, tapi dia tetap butuh makan, apalagi semalam dia membiarkan perutnya terus berbunyi. Dengan penuh keyakinan dan keberanian, Endra pun menuju ruang makan. Di tengah perjalanan, sudah terdengar bungi dentingan sendok dan garpu dari sana. Terdengar pula sayup-sayup obrolan hangat antara Ayah, Ibu dan Misti.

Endra pun menyumpah serapahi kenapa pagi ini semuanya lengkap, biasakan makannya terpisah-pisah.

Begitu kakinya masuk ke ruang makan, saat itu pula Ibunya berteriak kencang, "Astaghfirullah Abang!" Nilam segera bangkit dari duduknya. Matanya melotot melihat Endra. "Muka kamu kenapa?!"

Dengan gerakan pelan, Endra menarik kursi dan duduk di sebelah Misti yang terlihat kaget dengan respon luar biasa dari Ibunya. "Biasalah Bu, anak laki-laki," kata Endra sambil berusaha nyengir, tapi jatuhnya justru meringis.

"Heh kau nih ye!" Duh, ini masalah berat berarti nih, pikir Endra. Kalau Ibunya sudah menggunakan bahasa Melayu -bahasa tempat kelahiran Nilam- itu artinya Beliau benar-benar marah. Misti di sebelah Endra semakin kaget. "Siape ngajarin kau nyelesaikan masalah tuh pake otot?! Ayah kau ngikutkan kau taekwondo tuh biar buat jage-jage kalo diserang!"

"Abang diserang, Bu, makanya abang-"

"Kau kalau dikasi tau orang tue tuh diam dulu!" Endra pun kicep. Di sebelah Nilam, suaminya segera menyingkirkan gelas, piring, mangkuk, pokoknya berbahan kaca dari jangkauan Nilam. Itu sangat rawan menjadi meteor yang terbang! "Kau kire ganteng ke muke macam tuh, hah?!"

Endra tidak lagi melawan, percuma.

"Ibu dak suke ngeliat anaknye jagoan kayak gini!"

Mata Endra melirik Nilam, seperti anak kecil yang baru ketahuan keluar rumah siang-siang padahal disuruh Ibunya tidur siang.

"Kau kalo kayak gini lagi, Ibu sekolahkan di tempat nenek, mao?!" Endra menggeleng. Sebenarnya tempat nenek dari Ibunya Endra itu enak karena masih di perkampungan, tapi tidak menjadi pilihan yang tepat bagi Endra untuk melanjutkan sekolah di sana. Sini saja udah nyaman. "Ngape kau belom mandi udah jam segini?!"

"Abang gak bisa sekolah Bu dengan muka kayak gini," Endra berkata dengan nada memelas. Berharap dengan begitu hati Ibunya akan luluh. Namun, yang ada malah sebuah garpu terlempar ke arah lantai. Misti luar biasa kaget, sedangkan Endra meringis memikirkan Ibunya yang sudah marah besar.

"Kau kelai bise! Sekolah dak bise! Mandi dak kau sana?! Dak ade izin-izin! Kalo kau dak sekolah, Ibu botakkan rambut kau tuh!" Mendengar itu, Endra langsung berlari untuk mandi daripada harus berubah menjadi botak. Endra tidak suka!

Nilam kembali duduk, masih dengan napas naik-turun. Dia lalu menatap Misti yang masih diam. Nilam merasa bersalah mempertontonkan adegan menyeramkan pagi-pagi seperti ini. "Abangmu itu emang udah kelewatan, Mis, makanya Ibu marah," jelasnya dengan bahasa seperti biasa lagi. Sedangkan Misti hanya bisa mengangguk dan melanjutkan sarapan dengan senyap.

"Anakmu tuh, Yah," adu Nilam.

Giliran yang buat onar pasti bilangnya anak aku, pikir suaminya dalam hati. Ingat, hanya dalam hati! Kalau itu sampai keluar dari bibir, maka perang dunia ketiga sudah pasti akan terjadi.

*

Setelah terbangun dari tidurnya di sore hari Sabtu ini, Suta bergegas keluar kamar karena kerongkongannya yang meminta dibasahi oleh air. Dengan wajah masih kuyu, mata merah khas orang bangun tidur, Suta membuka pintu kamar. Saat itulah dia tidak sengaja melihat Rila baru keluar juga melewati tembok pembatas antara ruang keluarga dan ruang tamu. Kakaknya itu terlihat jalan mengendap-endap, kepalanya pun celingukan seolah sedang menjalankan misi rahasia dan takut ketahuan oleh orang.

Endra & SutaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang