S E M B I L A N

22 1 0
                                    

Di dalam sebuah minimalis dengan cat oranye mendominasi, seorang perempuan tengah terduduk di belakang pintu depan rumah. Ia menutup bibirnya agar isakan tidak sampai terdengar. Sementara itu, seorang lelaki berdiri di depan pintu rumah –sesekali mengetuk dengan memanggil nama Rila.

"Ril! Gue mau ngomong sama lo! Gue janji gak bakalan kasar lagi sama lo!"

Rila menggeleng, air matanya pun lantas berjatuhan. Dia menangis bukan karena sedih atau tersanjung dengan perkataan Wira, dia justru ketakutan setengah mati. Dia hanya seorang di rumah dan ada Wira di depan rumah, ini namanya mimpi buruk. Mungkin bila keadaan mereka masih berpacaran, Rila masih bisa menerima bila kelakuan kasar Wira bisa dimaafkan –Rila pasti dengan senang hati membuka pintu dan menyambutnya dengan senyum hangat. Tapi ini berbeda.

"Ril, tolong buka!"

Tangan Rila bergetar menatap ponselnya yang menampilkan kolom chat-nya dengan Endra. Lelaki itu bilang, adiknya dan Enda dalam perjalanan menuju rumah. Setidaknya berita itu membuat Rila sedikit ada harapan untuk segera lolos dari situasi mencekam ini.

Tidak lama, suara Wira hilang. Tidak ada teriakan, namun tidak ada tanda-tana suara motornya keluar dari halaman. Dengan keberanian, Rila sedikit menyingkap tirai dan ... lelaki itu memang tidak ada, tapi motornya masih bertengger di sana.

Brak!

Rila langsung menoleh ke belakang, tidak ada siapa-siapa. Suara itu terdengar dari samping rumahnya. Dia menaruh ponsel di meja dan memilih memegang sapu untuk bersiap berasal dari siapa bunyi itu. Langkahnya mengarah ke kamarnya sendiri, tangannya hampir menyentuh gagang pintu kamar saat tiba-tiba pintu terbuka.

Rila diam sampai otaknya memroses untuk segera berlari.

"Rila!" Panggil Wira saat Rila sudah kabur dari hadapannya. Lelaki itu pun lantas berlari. "Gue gak bakalan nyakitin lo, Ril. Gue janji."

"Gak! Gue gak mau! Gue gak percaya!" Rila mencoba membuka pintu belakang rumahnya yang tadi sudah dia kunci untuk mencegah Wira masuk lewat sana, nyatanya lelaki itu justru mendapat celah dari jendela kamar Rila yang lupa dia kunci. Tangan Rila yang gemetaran membuat semuanya semakin sulit, bahkan hanya untuk memutar kuncinya. Sementara Wira sudah ada di belakangnya.

Telat!

Rila sudah didekap Wira, perempuan itu pun meronta, melawan sekuat tenaga.

"Kenapa lo jadi setakut ini sama gue, Ril?" Tanya Wira dengan nada sedih.

"Lo yang ngebuat gue takut dengan diri lo! Lo yang selalu kasar sama gue kalo lo marah atau gak terima! Semuanya gara-gara lo!" Wira menahan tubuh Rila dengan mendorongnya ke tembok. Tangan Rila sudah berhasil dia genggam erat. Kakinya juga sudah terkunci di sela kakinya.

"Pasti cowok baru lo yang ngehasut, kan?"

"Lo itu tuli ya?! Semuanya gara-gara lo Wira!"

Wira tertawa, "Gak, Ril, pasti cowok lo itu."

"Brengsek!" Teriak Rila tepat di depan wajah Rila.

Wira tampak tidak peduli dengan tangisan, ketakutan dan makian Rila. "Ril, balik ya sama gue? Gue gak bisa kalo gak sama lo," pintanya. "Gue janji gak bakalan kasar sama lo, gak baka-"

"Omong kosong! Lo selalu ngomongin hal sama setiap kali abis nampar atau dorong gue ke tembok, Wir! Gue kenyang dengan omongan lo yang kosong itu! Gue muak dengan sikap lo yang gak pernah berubah itu! Mana katanya lo yang mau berubah itu?" Rila berdecih, membuat Wira memalingkan wajahnya seketika. "Omongan lo angin doang!"

Lelaki di depannya berubah ekspresi. Wajahnya berganti dingin. Cengkeramannya semakin mengerat, bahkan sekarang dia memegang dua pergelangan tangan Rila hanya dengan satu tangan. Sementara satu tangannya lagi menelusuri pipi kiri Rila perlahan. Rila menoleh ke arah lain –berusaha mengelak dari sentuhan Wira, namun dia gagal.

Endra & SutaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang