PIL 12

6K 745 26
                                    

Author POV

Perlahan tapi pasti, Ali merasakan getaran itu kian menjadi. Papinya benar, mungkin ia memang memiliki rasa pada gadis dengan sebutan Mamang Warnet itu.

Ia memutar-mutarkan flashdisk ditangannya. Hebat. Bahkan, didalam benda kecil ini sudah terisi dengan satu file powerpoint curahan hatinya untuk Prilly. Terkesan alay memang. Biarlah, selagi flashdisk ini tak jatuh ke tangan Prilly semuanya akan aman. Termasuk perasaannya. Tapi, apakah benar ini yang disebut getaran cinta sama seperti yang pernah ia rasakan dua tahun lalu dengan orang yang berbeda?

Ya, sedikit mengulik masa lalu Ali. Dulu, Ali adalah sosok yang ramah kepada siapapun. Semua yang menyapanya ia balas dengan senyuman, berbeda dengan sekarang. Kini ia bahkan lebih cenderung pemilih. Contohnya, ia tak pernah lagi respect pada gadis-gadis yang terang-terangan memujanya. Ia lebih memilih diam, sedikit dingin walau sifatnya yang tengil dan pecicilan melekat permanen dalam darahnya. Inilah dirinya kini. Nyaman, ya tentu saja. Ali juga bukanlah sosok yang payah tentang cinta. Ia begitu ahli dalam cinta dulu. Iya, dulu, sebelum cinta menjatuhkannya.

Gadis itu, satu-satunya gadis yang membuat seorang Ali berkata manis hanya untuknya, hanya gadis itulah yang mampu menciptakan senyum lembut dari bibirnya, dan gadis itu pulalah yang membuat dirinya merasakan jatuh disaat dirinya sedang mati-matian menggenggamnya. Rasanya tentu sakit.

Namanya Ghazia Sheyna. Gadis feminim, anggun dan baik hati yang pernah Ali temui. Tatapan mata birunya tak pernah dusta, selalu terpancar binar cinta untuknya. Hanya untuknya.

"Aku harus nunggu berapa lama lagi? Harus berapa tahun lagi aku nunggu kamu?" Lirih Ali. Ia menatap sendu frame foto yang membingkai potret dirinya dengan Zia. Ia berfikir, apakah ia perlu menyusulnya? Tapi, apa Maminya akan mengizinkan?

Ia meraih ponselnya, tangannya masih memegang frame fotonya dan Zia. Hari ini Ali sama sekali belum menghubunginya. Bukan apa-apa, hanya saja ia bosan karena yang didapatnya selalu sama.

Ali nampak mendial nomor seseorang. Menunggu panggilan diterima.

"Halo, Sa? Gimana hari ini?"

"....."

"Lo sengaja nyembunyiin Zia hah? Gue cuma nanya gimana dia sekarang?!" Ali terlihat frustasi.

"....."

Ali terkekeh hambar mendengar penuturan diseberang telfon sana. "Sabar? Emang selama ini gue kurang sabar apa?"

"....."

Muak mendengar penuturan diseberang telfon sana, ia membanting ponsel mahalnya ke ranjang. Masa bodo dengan suara halo halo yang masih menyahut. Ia lelah. Catat! Lelah.

***

BRAKKK!

Ali merasakan kepalanya bergetar hebat saat mejanya di gebrak keras. Ia mengangkat wajahnya.

"Lo kenapa sih?! Lo gak liat ni kepala gue ngampar disini?!" Omel Ali seraya mengusap dahinya yang pening.

"Bodo amat! Gue mau nagih hutang lo yang udah nunggak dua minggu!" Seru Prilly mengangkat dua jarinya tajam.

Ali mengangkat sebelah alisnya, menatap aneh Prilly. "Lo ngigo? Sejak kapan gue ada hutang sama lo? Eh lo jangan ngarang ya, malak gue lo segala nagih hutang. Asal lo tau ya, gue pantang ngutang. Nih, black card gue bejibun isinya." Ali menunjukkan black card dari saku seragamnya dengan sombong.

Prilly menggeram kesal, menggebrak meja Ali sekali lagi. "Bodo amat! Mau black card kek pink card kek gue gak peduli! Yang jelas lo harus balikin uang lima puluh ribu gue yang lo jatohin ke selokan!" Seru Prilly.

Powerpoint in Love (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang