PIL 17

5.5K 775 42
                                    

Author POV

Malam hari, Ali baru menginjakkan kakinya di mansion. Yang katanya sejak sore ingin pulang, urung karena berkali-kali ia mampir kemana-mana. Pertama, menunggu Prilly hingga sore untuk berbicara empat mata -yaa walaupun gagal. Kedua, mampir minum bandrek dengan ketiga sahabatnya. Ketiga, niat awal ingin pulang justru berbalik karena macet, jadilah ia memutar kemudinya memasuki gang rumah Prilly yang memang tak jauh dari kemacetan mobilnya bersarang, mengobrol permasalahan yang berujung pada dirinya yang anu itu anu itu. Skak. Terakhir, ia lupa jalan pulang, terus berputar-putar sebanyak lima kali di Bundaran HI. Ck! Kalau di pikir-pikir ngapain_- Ngabis-ngabisin bensin!

Jujur, Ali suka kesal dengan dirinya yang makin hari makin aneh. Ia berfikir, mungkin saja ini salah satu alasan Zia memilih orang lain dari pada dirinya. Apalagi kalau bukan karena sifat freak yang dimilikinya.

Dia terduduk di sofa. Meluruhkan punggungnya pada sandaran sofa. Pikirnya menerawang ke belahan bumi lain. Ternyata benar, yang kita anggap paling baik belum tentu yang terbaik. Ali tak menyesali apapun, tak menyesali kenapa harus hadir Zia dalam hidupnya ataupun kenapa semuanya berakhir seperti ini.

"Permisi, Tuan Muda."

Ali bergumam malas saat salah seorang pelayan menghampirinya dengan nampan berisi makanan lengkap dengan minumnya.

"Saya di minta Nyonya Besar untuk menyiapkan makan malam saat Tuan Muda pulang. Tuan Muda ingin makan disini atau di ruang makan?" Tawarnya sopan sambil menunduk.

"Gue kenyang. Gak perlu," balas Ali tanpa minat.

"Tapi, Tuan--"

"Gue bilang gue kenyang!" Seru Ali. "Budek? Masih kurang jelas?" Lanjut Ali dengan menaikkan oktaf suaranya.
"M-- maaf, Tuan Muda. Kalau begitu saya permisi." Pelayan itu pamit pergi.

Ali mengusap wajahnya kasar. Sepertinya ia butuh sendiri. Ali yang hendak bangkit dari duduknya, urung saat lift berdenting menampilkan Papi dan Maminya yang baru saja turun.

"Kok baru pulang?" Tanya Wita dengan wajah khawatirnya. Ia mengambil duduk disamping putranya yang menunduk diikuti Alfa sang Papi di sofa single di samping Ali.

"Mami telfonin kamu beratus kali lho," kata Wita lagi saat Ali hanya diam.

Ali tak memberikan respon apapun. Baik dari mata, ataupun kata-kata. Wita cukup mengerti perubahan dari sikap putranya itu.

"Liat Mami sini!" Wita memegang pipi Ali agar mau menatapnya.

Wita tersenyum lembut, sedikit mengusap peluh di kening Ali dan merapikan rambut hitamnya yang acak-acakan penuh sayang. "Jelek banget ih!" Kekeh Wita yang hanya mendapat senyum samar dari Ali. Sepertinya, Ali patut bersyukur karena kali ini tidak mendapat omelan dari Mami atau Papinya. Mungkin mereka cukup mengerti tentang apa yang dialaminya.

"Gih bersih-bersih. Mandi, makan, tidur. Liat tuh matanya udah capek banget," suruh Wita.

Ali menampilkan senyumnya, mengecup pipi sang Mami singkat. "Makasih, Mi." Ia beranjak bangun setelahnya.

"Habis mandi turun ya. Kita dinner sama-sama," pesan Wita sebelum Ali berlalu.

"Gana kenyang, Mam. Mau langsung tidur aja."

Ingin protes, namun lift terlanjur menelan tubuh Ali.

"Mungkin dia memang kenyang, Mi," kata Alfa yang sedari tadi diam.

Tiba dikamarnya Ali tak langsung bersih-bersih. Ia justru terduduk di ranjang king size-nya. Masih dengan seragam putih abu-abu yang melekat di tubuhnya, ia terlihat merenung, sesaat kemudian ia menghembuskan nafasnya keras-keras. Saking kerasnya, mungkin benda-benda mati seperti televisi dan lemari bisa mendengarnya. Oke, ini aneh.

Powerpoint in Love (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang