16. His Life, His Heart

1.4K 223 11
                                    

Sudah menjelang malam tapi Jimin masih memaksa Seulgi untuk mengobrak-abrik website jurnal internasional yang bahkan Seulgi tidak paham. Jangankan memahami jurnalnya, bahasanya saja tidak. Tapi Park Jimin masih menyuapi Seulgi dengan hal itu.

"Bisakah jurnal bahasa Korea saja? Atau Malaysia. Bahasa Inggris ilmiah ternyata cukup sulit bagiku," Seulgi mendongak pada Jimin yang duduk di sisi kiri, cukup tinggi karena posisinya sendiri sekarang tiarap.

"Tidak!" Singkat Jimin, dia tidak menoleh pada gadis itu dan masih menginput sesuatu pada laptop.

Seulgi memutar bola matanya malas, pun dia menghela nafas dan kembali mengerjakan apa yang diperintahkan Jimin sejak satu jam yang lalu. Saat dia mencoba fokus, meski gagal, Jimin mengajukan pertanyaan mudah tapi akhirnya malah seperti ini,

"Waktu pendidikan S1 siapa yang membuatkan skripsimu?"

"Maria... Eh, a-ani a-aku yang--"

Jimin menoleh pada Seulgi yang masih tergagap-gagap. "Oke. Maria. Tapi aku ikut membantu,"

Kembali Jimin melihat pada laptopnya, "Sekarang buatlah karyamu sendiri, ini tugas akhirmu yang akan terus kau kenang baik hasil maupun prosesnya," responnya santai seolah tahu bahwa itu akan ia dengar segera setelah bertanya.

Tangan Seulgi kembali bergerak mengetikkan apa saja agar Jimin tidak marah. Prinsip Seulgi sekarang yang penting Keyboard berbunyi. Daripada ketahuan hanya planga-plongo.

Jimin terlihat kesal kala melihat layar laptop Seulgi yang Googling entah apa.  bahkan tidak bisa dibaca oleh manusia, "di kerjakan Seul, jangan main-main!"

Gadis itu tidak merasa bersalah sama sekali melainkan hanya guratan kesal yang semakin bertambah. Enak saja menyuruh ini itu sedang dia -- Park Jimin sendiri fokus pada pekerjaannya. Tidak membantu melainkan terus protes. Jangan-jangan dia juga tidak paham makanya besar mulut saja. Fikiran Seulgi mulai berfikir disekitaran hal itu.

Dia menghela nafas dan duduk seketika, menyamakan posisinya dengan Jimin, "aku telfon Joonie saja, dia pandai menerjemahkan."

"Coba saja!"

"Tentu!" Katanya tidak mau kalah.

Tatapan sengit itu berakhir pada Jimin yang kembali fokus pada laptopnya sedang Seulgi segera beranjak menuju nakas dan meraih handphonenya  yang sengaja di letak Jimin jauh-jauh agar dirinya dapat fokus. Semula seperti itu, sampai benda itu kini telah pada jemari Seulgi dan dia kembali ke posisi semula dengan ponsel di telinga kanannya.
Acuh. Dia menunggu panggilan Namjoon.

"Namjoon-ah, kau dimana?" Teriak Seulgi.

"..."

"Bisa bantu aku? Terjemahkan ke bahasa Korea. Ada beberapa kata yang sulit dan membuatku bingung. Dan tidak ada satupun yang bisa menolongku kecuali kamu." Beberapa penekanan sindiran ia lontarkan. Jelas sekali dia sangat ingin memberi tahu pada Jimin bahwa suaminya itu begitu menyebalkan.

"..."

Suasana jadi hening, bahkan Jimin berhenti dari aktivitasnya namun tetap tidak menoleh, berpegang teguh pada ucapannya barusan. Sebuah tantangan namun dijawab menyebalkan oleh Seulgi. Pun Jimin merasa kesal pada istrinya itu. Perang dingin. Lebih dingin daripada hari pertama musim salju.

"Apa?" Seulgi melirik ke arah suaminya. Seperti bersorak bahwa dia telah memenangi peperangan. "..kau bisa? Yoshi Kau memang bisa diandalkan."

"...di-dimana? Hotel? Ok---"

Tangan Jimin segera merampas ponsel itu kemudian melemparnya ke sebarang arah hingga menimbulkan bunyi dentingan dan beberapa kali memantul ke lantai. iPhone nya yang malang. Mata Seulgi melirik ke titik dimana ponselnya di buang namun kemudian Jimin telah menggenggam tangannya, membuat dia terdiam dan melupakan insiden itu. Ya, mungkin ini lebih buruk daripada lemparan barusan. Apakah dia akan di buang dari lantai apartement atau bagaimana?  Dia menelan saliva berat ketika Jimin memajukan wajahnya. Dia termundur dengan satu tangan menahan tubuhnya.

My Cute's Wife [Seulmin ✅]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang