Tumpukan dokumen di atas meja, serta pria tua yang tersenyum di hadapannya menjadi perhatian mata secara bergantian. Dhan menghela napas penuh semangat, menatap beban baru yang akan ia tanggung di hari esok.
"Kita mulai dengan sejarah perusahaan Mahadri," ucap Ferdi mengambil satu buku dan memberikan kepada Dhan.
"Aku udah tahu, Kek." Ia menerima buku itu.
Ulang tahun perusahaan adalah saat ia mendengarkan sejarah itu. Memang ia hanya tiga kali pergi ke acara tersebut, tetapi selama itu pula ia sudah mendengarkan sejarah pembangunan perusahaan. Sampai sekarang Dhan masih mengingatnya. Jika disuruh menceritakan kembali, dirinya tak masalah.
"Tahu dari mana?" Ferdi mengerutkan kening.
Kakeknya ini sudah tua. Jadi, harap maklum. Beliau sering lupa dan kurang pendengaran. Setelah pulang dari Australia, ia harus membesarkan suara ketika berbicara dengan kakeknya, tetapi Dhan tetap sabar menghadapi meski beberapa kali mengeluh dalam hati karena harus mengulang perkataan.
"Dari cerita Kakek di acara charity."
"Ooh ... kirain kamu lupa," ujar Ferdi.
Bukankah sebaliknya?
"Kamu pelajari yang penting saja, Kakek keluar dulu mau main sama Risya."
Melihat pria tua itu menghilang di balik pintu, Dhan bersandar di sandaran kursi mencari kenyamanan. Beberapa jam yang lalu ia selesai berbelanja dengan bundanya, saat pulang ke rumah kakek dan nenek sudah menunggu.
Ia harus terima saja ketika Ferdi menyeretnya ke ruang kerja Kenan. Sepertinya dua pria itu sudah saling berkomunikasi untuk hal yang harus ia jalani sekarang. Katanya di kantor nanti jabatan Dhan akan setara dengan karyawan baru, maka ia harus berjuang sendiri untuk naik.
Ponsel berbunyi menandakan pesan masuk. Ia meraih benda pipih itu, kemudian memeriksa notifikasi. Chat dari Afif.
"Weekend gue ke Jakarta, ada undangan buat lo."
Dhan mengerutkan kening. "Udangan apa?" Ia mengetik di layar ponsel.
"Pernikahan gue. Dua minggu lagi."
"Hah?" Ia mengeja setiap huruf di chat Afif. "Ini anak lagi halu?" Mengerutkan kening karena belum percaya.
"Nikahnya di Jakarta. Pokoknya lo sama yang lain harus datang."
Belum sempat membalas pesan itu, pintu ruangan terbuka. Dhan menaruh ponsel ke atas meja dan segera berpura-pura sibuk membaca dokumen di hadapannya.
"Ditinggal, malah main HP," ucap Ferdi yang kini sedang menggendong Risya.
Ah, ternyata penglihatan beliau masih bagus atau belum rabun, meskipun tidak menggunakan kacamata.
Dhan terkekeh sumbang. "Cuma ngecek dikit, Kek."
Jujur, Dhan masih penasaran bagaimana seorang Afif yang dua minggu lalu terlihat biasa saja ketika bertemu dengannya, sekarang membeberkan akan menikah. Bukankah itu terlalu mendadak?
Afif sedang menipunya?
Risya turun dari gendongan sang kakek, menghampiri Dhan yang sedang sibuk membaca laporan keuangan tahun lalu, tetapi pikirannya melayang kepada Afif. "Mas, main Free Fire?"
Ia menoleh, menatap Risya yang kini tengah menatap kepadanya. Ini sedikit membuatnya terheran, anak sekecil Risya sudah tahu game yang sedang populer sekarang. Satu pertanyaan melintas di kepala, apakah adiknya tahu game PUBG?
"Mas nggak main," jawabnya, jujur ia memang tidak memiliki game itu di ponselnya.
"Kok nggak punya? Kalah dong, sama gurunya Risya."
Guru?
Ah, mungkin adiknya salah bicara. Dhan melirik sang kakek yang terlihat bingung, terlihat sedang bertanya-tanya, apa itu Free Fire?"Gurunya Risya siapa namanya?" tanya Dhan.
"Kak Nadila," jawab adiknya. "Kata Kak Nadila, mulai sekarang panggil dia Ibu Guru."
Ingatkan Dhan untuk menjauhkan Nadila dari anggota keluarganya. "Risya tahu apa itu Free Fire?"
"Tahu, dong."
"Siapa yang ngasih tahu?" Dhan sedikit membungkuk untuk berbicara dengan adiknya.
"Kak Nadila." Risya tersenyum cerah, kemudian kembali berucap, "Katanya kita bisa nembak orang yang nakal sama kita."
Ajaran macam apa itu? Nadila benar-benar sesat.
"Free Fire itu apa, Dhan?" Akhirnya pria tua yang sedari tadi diam, bertanya.
"Game, Kek. Risya belum bisa main yang kayak gitu," ucapnya sembari beralih kepada sang kakek. "Kok, Risya dibawa ke sini, Kek?"
Kakeknya memilih untuk duduk di sofa sebelum menjawab, "Nenek sama bundamu lagi bikin kue. Risya mainnya sendirian."
Dhan membulatkan bibir. Mata melirik ke arah ponselnya yang kini diraih oleh sang adik. Ia biarkan.
"Besok aku bisa ke kantor ayah?" Ada keinginan untuk pergi ke tempat itu, Dhan tahu alasannya. Selama ini ia tak masalah dengan keinginan tersebut.
"Mau ngapain?"
"Mau lihat tempat kerja baru," jawabnya, sedikit berbohong.
"Oh, setuju kalau itu. Nanti Kakek hubungi Pak Bima, dia calon atasanmu."
Mendengar nama itu, Dhan memutar otak mencari tahu wajah pemilik nama Bima di kantor ayahnya. Tak ada yang ia kenal selain pria bertubuh gemuk dengan wajah tegas bak mengintimidasi kaum lemah.
Dhan tahu, sekarang ia harus ekstra hati-hati dalam bekerja.
"Dia sendiri yang minta kamu bergabung dengan divisinya."
"Hm," sahutnya, tak tahu harus berkata apa.
Mungkin ia pernah memiliki pengalaman kerja saat kuliah, tetapi kali ini berbeda dengan kegiatan magang. Saat kerja nanti ia akan dinilai untuk selamanya, bukan hanya satu bulan atau dua bulan.
"Mas, download Free Fire, dong," pinta Risya sembari memberikan ponsel kepada Dhan.
Ia menghela napas, menerima ponsel itu. "Nggak boleh. Itu bukan permainan anak kecil. Mending sekarang Risya mandi, bentar lagi ayah pulang," ucapnya kemudian melirik jam.
Tiga puluh menit lagi beliau akan pulang ke rumah. Di hari esok ia akan merasakan hal yang sama, pulang di jam lima dan terkena macet.
VOTE
Klik bintangnya, Kak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Kamu, Asisten Ayahku #3 (END) ✓
RandomSequel Different (Dhan-Khanza After story) Semua orang tahu, sudah lama aku menyukainya. Semua orang pun tahu, sampai saat ini aku belum berpaling darinya. Ketika remaja dan sampai saat ini aku dan dia telah menjadi dewasa, semua tetap sama. Aku ber...