18 : Tugas dari Pak Kenan

6.9K 630 6
                                    

"Pacar kamu hari ini masuk kantor." Asni yang sedang sibuk dengan laptop, menjatuhkan kata-kata tersebut kepada Khanza.

"Siapa, Ce?" tanyanya, ia melihat ke arah lain untuk memastikan bahwa mereka tidak hanya berdua di tempat tersebut.

"Kamu, lah," jawab Asni.

Khanza mengerutkan kening. "Aku nggak punya pacar."

Berkata seperti itu, Asni menoleh ke arahnya, tangan menopang dagu, kemudian tersenyum geli. "Anaknya Pak Bos, kamu nggak akuin dia?"

Alis Khanza semakin mengerut. Ia tahu siapa itu Pak Bos, tetapi ia tak yakin yang dimaksud adalah Dhan. "Maksudnya Dhan?"

"Mas Rafa, di sini panggilannya Rafa, bukan Dhan." Asni semakin tersenyum. "Kelihatan banget bedanya. Kamu doang yang manggil kayak gitu di kantor ini, sama kayak Pak Bos dan supirnya."

Mau bagaimana lagi, sebelum masuk kantor ini, ia sudah lebih dulu mengenal Dhan. Khanza bersandar di kursinya, mencari rasa nyaman di pagi yang baru dimulai ini. Informasi dari Asni membuatnya tahu, keputusan lelaki itu jatuh pada keinginan orang tua.

Mengingat itu, ia tersenyum. Bukan hanya soal keputusan Dhan, tetapi pun karena sedikit dari sudut hatinya berteriak senang berada di tempat yang sama dengan lelaki itu. Meskipun pertemuan mungkin akan sangat jarang karena ruang kerja yang terpisah.

"Ah, senangnya lihat anak gadis yang sedang berbunga-bunga," celetukan Asni membuat Khanza menoleh.

Ia menetralkan ekspresi, mengira-ngira apakah tadi dirinya tersenyum saat memikirkan nama itu atau hanya berekspresi datar.

"Jadi, Rafa udah mulai kerja?" Sedikit kaku memanggil lelaki itu dengan sebutan nama yang asing di bibirnya.

Asni semakin tersenyum meledek. "Aaah ... kok, jadi aku yang greget sama kalian berdua."

Khanza benar-benar tak mengerti, ia memalingkan wajah dari Asni yang masih tersenyum cerah. Wanita itu berubah 50 derajat dari sebelumnya. Kedatangan Dhan membuat kehidupan kantor akan berbeda. Pasalnya, ia pun tak sabar dengan kejutan yang akan terjadi.

"Tuh, kan. Kamu senyum lagi," celetuk Asni.

Ia menghela napas, membuang pikiran aneh di kepala. Semoga kelakuannya kali ini terlepas dari pandangan wanita itu. Khanza benar-benar tak ingin menjadi bulan-bulanan Asni di saat waktu berdua seperti ini.

"Duh ... kayaknya bos harus ngalah sama anaknya sebentar siang." Asni kembali menatap laptop, itu sedikit membuat Khanza lega karena terlepas dari tatap meneliti geraknya. "Soalnya ada yang mau makan siang berdua, klien dan bos bisa kapan-kapan. Anak bos, mah, bebas."

Meskipun tak menatapnya, Asni masih saja melayangkan guyonan aneh. Khanza risi. Ingin menegur, tetapi takut karena wanita itu senior, yang pasti lebih tua darinya.

Telepon yang berada di atas meja, berbunyi. Khanza mengangkat dengan sopan, suara pria yang sangat ia kenal memintanya untuk masuk ke ruangan yang pintu masuk bisa ia lihat dari tempat duduknya.

"Aku ke dalam dulu, Ce." Khanza pamit kepada wanita itu.

"Iya," sahut Asni. "Salam sama ayah mertuamu."

Khanza menghela napas pelan, cengiran Asni semakin lebar. "Aku nggak pacaran sama Dhan."

"Udah, ah. Ke ruang Pak Bos dulu, klarifikasinya nanti aja."

Ia menuruti, sebelum melangkahkan kaki, ia menarik jurnal yang berisi jadwal harian Kenan. Sudah Khanza atur sejak kemarin, sampai pagi ini belum ada jadwal yang harus diubah.

Sebenarnya ia sudah mengirimkan jadwal tersebut kepada atasannya melalui surel. Hanya saja, pria yang sekarang ingin ia temui itu, selalu melewatkan e-mail darinya. Padahal, itu aturan pertama yang harus ia lakukan di pagi hari. Jika seperti ini, sama saja tak ada guna melakukan hal itu.

Mengetuk pintu, Khanza masuk setelah mendengar seruan dari dalam sana. Pria itu nampak sedang menikmati secangkir kopi di kursi kuasa. Sekilas, ia bisa melihat masa depan Dhan duduk di sana nanti. Entah ke mana takdir membawanya, mungkin saja di hari esok ia akan menjadi asisten dari lelaki itu.

Siapa yang tahu pada masa depan.

"Hari ini ada jadwal meeting dengan Pak Lukki?"

"Nggak ada, Pak." Sepertinya Khanza tak membaca nama corp pria itu di jadwalnya. Ia membuka jurnal, meneliti kembali jadwal hari ini. "Jadwalnya besok, Pak."

"Eemm ...." Kenan bergumam, seperti sedang mempertimbangkan sesuatu. "Bisa alihkan itu ke Vano?"

"Bi--"

"Ah, nggak apa. Biar saya yang kasih tahu," interupsi Kenan. "Saya baru ingat, besok itu ulang tahun istri saya."

Khanza membulatkan bibir. Wajar saja Kenan membatalkan, karena jadwal untuk bertemu klien tersebut akan memakan waktu lama. Khanza pernah berakhir keram kaki sebab terlalu lama duduk, saat berdiri, seluruh tubuhnya seperti mati rasa.

"Saya juga lupa beli kado." Pria itu terlihat frustasi.

Sungguh, jika seperti ini Khanza jadi tak enak untuk diam saja. "Bisa saya bantu, Pak?"

Kenan menjetikkan jarinya. "Itu yang saya tunggu."

Kini, mulut Khanza terbuka setengah ketika melihat tingkah Pak Bos. Sebenarnya ia ingin tertawa, tetapi takut mendapatkan teguran. Bagaimana bisa seorang Dhan yang dulu, menolak pria humoris seperti ini.

"Duduk, Za." Kenan mempersilakan. "Kita harus mikir, bagusnya ngasih hadiah apa?"

Sembari melangkah untuk duduk di hadapan bosnya, Khanza memutar otak untuk mencari jawaban. "Terserah Bapak."

"Lah, kok terserah saya?" Pria itu menghela napas. "Saya berharap sama kamu, lho."

"Aah ...." Khanza menggigit bibir bawahnya. "Perhiasan, tas, sepatu?"

"Hanya itu?"

Ditanya begitu, ia jadi bingung sendiri. Ini seperti dirinya yang memberikan hadiah, bukan Kenan. Sungguh, otak Khanza tak bisa berpikir. Belum lagi ia tak terlalu tahu karakter ibu dari Dhan, selain penampilan yang sopan.

Khanza bingung. Kenan seperti memberikan tugas yang berat padanya. Jika salah mengajukan saran, apa yang akan terjadi?

Ah, ini sungguh membingungkan.

"Ayah, lagi sibuk?" tanya seseorang dari arah pintu.

Bagaikan diserbu kupu-kupu, Khanza tahu penyelamat datang menolongnya. Ia mendesah samar, menyembunyikan kelegaan.

"Di kantor panggil pak, bukan ayah," tegur Kenan.

***

Dear Kamu, Asisten Ayahku #3 (END) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang