"Istirahat dulu. Kata kakek, kamu dari tadi sore di ruangan ini," tegur Kenan kepada sang putra yang masih setia di ruang kerja.
Dhan melirik sekilas, kemudian menjawab, "Aku masih sholat, dan makan malam. Jadi, nggak bisa dihitung dari tadi sore."
Ia memang selalu keras kepala jika sudah berambisi. Pria itu hanya menghela napas, sudah hafal dengan kelakuannya. Ia melanjutkan bacaan pada buku di hadapannya.
Pintu terbuka, menampakkan wanita berhijab yang kini menatap serius ke arah Kenan. Dhan mengerutkan kening, apakah ada masalah?
"Kamu serius, Ken?" Nada bertanya tanpa berkedip kepada lawan bicara.
Sebagai penyimak, Dhan menutup buku di hadapannya. Ia menatap kedua orang tua itu secara bergantian. Entahlah, ia tak bisa mengartikan ekspresi mereka, tetapi sebagai anak yang baik, di sini dirinya akan menjadi penengah jika ada ledakan.
"Aku serius, Nad," balas Kenan. "Buat apa berbohong?"
Nada menatap ragu kepada pria itu. "Kok, aku nggak percaya."
"Karena?"
"Nggak ada yang ngasih tahu ke aku kalau Viona udah nikah."
Dhan mengedipkan mata beberapa kali ketika mendengarkan nama itu. Sudah lama tak terdengar, semenjak dirinya meninggalkan tanah air. Wanita itu kembali? untuk apa?
"Ya, sama. Aku juga."
"Aku mau ketemu dia," ucap Nada. "Viona ninggalin nomor kontaknya di kamu?"
Kenan menggeleng.
Dhan merasa terganggu. "Ayah, Bunda," panggilnya menginterupsi percakapan mereka.
Padahal orang tuanya bisa mengobrol berdua di kamar atau di mana pun karena ini memang bersifat rahasia. Mau membuka keberadaan wanita itu di hadapan Dhan, sama saja mengibarkan bendera perang.
Ya, sampai saat ini ia tidak menyukai Viona. Kembalinya wanita itu ke kehidupan mereka, membuatnya meningkatkan kewaspadaan.
"Yang dimaksud Tante Viona, sepupu Bunda?" tanyanya memastikan.
"Iya," jawab Nada.
Ia mendengkus. "Mau ngapain dia datang lagi?"
"Dhan." Bundanya menegur. "Dia tantemu."
"Aku nggak peduli dan aku masih nggak suka sama dia," tukasnya.
Nada terlihat ingin menegur, tetapi Kenan mencegah dengan menyentuh bahu. Sikap keduanya tidak lepas dari lensa retina Dhan. Ayah mengerti perasaannya, atau lebih mengalah. Sedangkan bundanya seperti biasa. Tak ingin dibantah.
"Ada yang kurang dimengerti?" Kenan mengalihkan topik ke pekerjaan Dhan. "Ayah bantu," tambahnya.
Dhan menghela napas, ia berdiri segera meninggalkan tempat itu. "Aku mau istirahat, capek."
Ia menuju pintu melewati orang dewasa yang kini menatap punggungnya. Persetan dengan hubungan darah, Dhan masih tak suka pada wanita itu.
"Dhan," panggil ayahnya, ia menghentikan langkah.
"Ayah nggak minta kamu buat maafin Tante Viona. Hanya saja, rasanya nggak adil. Kamu bisa maafin Ayah, tapi tidak dengan tantemu, padahal kami sama-sama bersalah."
Jujur, Dhan tidak ingin kembali terlempar ke masa lalu. "Aku nggak mau denger, Yah."
Bukankah sudah jelas, ayahnya dan Viona memiliki kedudukan yang berbeda. Mungkin memang ia tak adil, tetapi semua karena ia membutuhkan pria itu.
"Kamu harus dengar," tegas Kenan.
Di balik punggungnya ia mendengarkan langkah kaki mendekat. Dhan bisa menebak, Kenan sedang mendekatinya.
"Tante Viona sampaiin maaf ke kamu, dia mau memperbaiki semuanya."
Dhan berbalik, mungkin memang benar ia harus memaafkan. Di hadapannya sekarang ada seseorang yang juga bersalah di masa lalu. Namun, sekuat apapun ia tak bisa memaafkan Viona.
"Lagi pula Tante Viona udah nikah," ucap Nada. "Dia nggak mungkin ambil ayahmu."
"Nad," tegur Kenan.
Nada hanya tertawa kecil. "Dhan khawatirin itu, tahu. Dia takut kamu diambil Viona."
"Enggak." Dhan menimpali. "Ayah kalau mau sama Tante Viona pergi aja, bodoh amat."
Nada tertawa lagi. "Ken, ternyata anakmu nggak sayang sama kamu."
"Ini nggak lucu, Nad," lirih pria itu, tetapi ujung bibir terangkat merasa geli.
Detik selanjutnya Dhan menyaksikan pertengkaran kecil dua orang dewasa itu. Di awal tinggal bertiga, beberapa kali ia pikir orang tuanya tak akur karena terkadang saling menyapa ayah dan bunda, lalu di lain kesempatan saling menyapa nama.
Lama-kelamaan Dhan tahu itu bukan karena bertengkar, melainkan beradaptasi. Semakin ke sini, ia sadar. Orang tuanya tak bisa bermanis, tetapi tetap berusaha. Keluarga ini memang aneh, dibangun oleh dua orang yang masih belajar memahami.
Ayahnya lebih banyak mengalah, bunda selalu diikuti mau. Terkadang ia khawatir ayahnya tertekan akan hal ini. Jujur, Dhan sedikit tak enak pada dua orang dewasa yang memilih bertahan karenanya. Itu sebabnya ia masih merasa takut jika Viona kembali dan merebut senyum mereka. Terlebih senyum bundanya.
Ya, ia takut ditinggalkan lagi. Khawatir sikap keduanya membuat mereka tertekan lalu berpisah.
"Yah," panggilnya kepada pria itu.
"Iya?" Kenan menyahuti.
Dhan menghela napas. "Kalau Ayah ninggalin kami, aku nggak bakalan maafin Ayah yang kedua kali."
Hening.
Ia segera memutar tumit, melanjutkan langkah keluar dari ruangan itu. Sebelum pintu tertutup, suara Kenan terdengar menyahuti ucapannya tadi.
"Kamu masih belum percaya sama Ayah."
Pernyataan ayahnya memang benar. Dhan masih meragukan pria itu dan kokohnya keluarga ini. Jika hanya soal kasih sayang, ia masih mempercayai. Namun, tidak dengan tekanan yang datang bergantian.
Dhan masih ragu, meskipun sekarang ia telah menghormati pria itu.
VOTE
Klik Bintangnya, Kak.Dhan curigaan 😅
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Kamu, Asisten Ayahku #3 (END) ✓
RandomSequel Different (Dhan-Khanza After story) Semua orang tahu, sudah lama aku menyukainya. Semua orang pun tahu, sampai saat ini aku belum berpaling darinya. Ketika remaja dan sampai saat ini aku dan dia telah menjadi dewasa, semua tetap sama. Aku ber...