27 : Tak Ada Kabar

7K 626 30
                                    

Sudah lebih dari 24 jam lelaki itu tak menghubunginya. Satu jam tak diberi kabar, Khanza merasa biasa saja. Namun, kali ini tidak. Dhan seperti seseorang yang hanya menyampaikan perasaan, kemudian menghilang tanpa ingin dicampuri urusannya.

Selama di kantor mereka tak bertemu. Baiklah, Khanza maklumi karena atasannya hari ini tak masuk, bisa saja Dhan ikut dengan Kenan. Ya, jadwal yang seharusnya akan berangkat besok ke Padang, pada akhirnya dipercepat. Maka seharian ia harus berurusan dengan Vano.

Khanza bukan sedang galau karena tak bertemu, ia hanya memikirkan kesungguhan. Dhan menghilang, sedangkan ia tak tahu di mana lelaki itu berada. Pesan pun tak pernah ia terima.

"Tumben HP-mu di tangan mulu," ucap Vera, menatap penuh tanya ke ponsel di tangannya.

"Hm?" Khanza menoleh. "Oh, ini aku lagi nunggu umi nelepon," kilahnya.

Berada di apartemen hanya berdua dengan Vera, Khanza melepaskan ponsel tersebut kemudian menyisir rambutnya. Sebenarnya aktivitas ini jarang ia lakukan sebelum tidur, tetapi karena tak ingin terlelap, ia lakukan saja. Jujur, ia masih berharap Dhan memberikan kabar.

Teringat lagi di hari itu, Kenan terburu-buru meninggalkan kantor tanpa sepengetahuannya, kemudian keesokan hari atasannya tidak bekerja. Ia pikir keluarga itu sedang mengalami masalah, tetapi apa hubungannya dengan Padang?

Liburan?
Khanza tak bisa menerka.

"Za, mau sampai kapan kamu nyisir? Sampai kepalamu botak?" tegur Vera.

Ia hanya tertawa mendengarkan ucapan temannya itu. "Habisnya umi aku neleponnya lama banget, takutnya aku ketiduran." Lagi-lagi beralasan.

Jika Vera sampai tahu, ia tak yakin akan tidur nyenyak malam ini. Mungkin mereka akan bertengkar terlebih dahulu. Khanza pun yakin pertengkaran kali ini tidak akan ada yang menang ataupun kalah, yang ada hanya hubungan persahabatan renggang.

Ponsel berbunyi, Khanza segera melihat siapa yang menelepon. Bukan seseorang yang diharapkan, tetapi ia pun merasa senang pria itu meneleponnya. Sudah beberapa hari mereka tidak saling memberikan kabar, abinya memang sangat jarang menelepon, sibuk selalu menjadi alasan.

"Assalamualaikum." Suara abinya terdengar dari seberang sana.

"Wa alaikumsalam, Abi," sahutnya. Terjadi jeda beberapa detik, Khanza mengerutkan kening. "Abi?" panggilnya.

"Khanza sehat?"

Seperti biasa, bertanya kabar terlebih dahulu. "Sehat, Bi," jawabnya.

"Alhamdulillah."

Khanza tersenyum, dari cermin di hadapan, terlihat Vera sedang memperhatikannya. "Abi gi--"

"Tadi anaknya Pak Kenan ke kantor Abi." Pria itu menginterupsi ucapannya.

"Hah?" Khanza mengerutkan kening, ia mengulang kembali ucapan abinya di kepala. "Dhan?"

"Iya, katanya dia mau serius sama kamu."

"Haaah ...?" Baiklah, ia tak bisa berkata apa pun lagi.

Dipikirnya lelaki itu sedang berlibur bersama Kenan ke Padang, padahal tadi ia sudah memaklumi Dhan yang tak menghubunginya. Namun, dugaannya salah besar. Kini ia tak tahu harus berkata apa, Dhan benar-benar membuatnya terkejut.

"Khanza masih di situ?" Suara abinya kembali terdengar.

"Iya Abi," sahutnya. "Abi, nanti Khanza telepon lagi. Assalamualaikum." Memutuskan sambungan secara sepihak.

Menarik napas dalam-dalam, ia mencoba untuk berpikir jernih saat ini. Mata menilik cermin, di balik punggungnya, Vera menatap penuh tanya. Hal yang sangat mustahil jika ia menceritakan kepada perempuan itu tentang apa yang sedang Dhan lakukan.

Khanza sudah menduga, respons Vera tidak akan bersahabat. Ia menggigit bibir bawahnya. Sebenarnya ini kabar bahagia, tetapi ia merasa lucu. Dhan melakukan hal yang sangat tak terduga, di saat dirinya sedang memikirkan kabar lelaki itu.

Jujur, ucapannya kemarin sangat serius, tetapi tetap saja ia tak sampai mengira Dhan memenuhinya dengan sangat cepat. Pergi tanpa pamit dan menemui tanpa izin. Lelaki itu sungguh tidak terbaca.

"Kamu kenapa, Za?"

"Nggak apa-apa," jawabnya sembari berdiri ingin keluar dari kamar. Ia butuh tempat sepi untuk menelepon Dhan.

Ruang tamu menjadi pilihan, Khanza duduk di sofa, men-dial nomor ponsel Dhan. Jika tadi ia gengsi menghubungi lelaki itu lebih dulu, sekarang tidak lagi. Ia bukan ingin memprotes, hanya saja meminta kebenaran dari ucapan abinya dan juga ia ingin bertanya, mengapa tak mengatakan kepadanya terlebih dahulu.

Suara operator terdengar dari ujung sambungan. Ponsel Dhan berada di luar jangkauan, mungkin tidak aktif. Khanza menghela napas kasar, sepertinya malam ini ia tak akan bisa tidur.

"Ada yang kamu sembunyiin?" tanya seseorang yang kini menatap penuh curiga kepadanya.

"Hah?" Khanza sedikit terkejut Vera sudah bergabung bersamanya di ruang tamu. "Nggak ada," jawabnya.

Ponsel kembali berbunyi, ia hampir menjatuhkan benda itu sangking terkejut. Nama sang kakak tertera di sana, sudah pasti Andra akan menanyakan tentang Dhan. Jika itu kakaknya, Khanza dengan leluasa akan menceritakan kejadian yang sesungguhnya, tetapi jika itu abinya, ia tak akan bisa berucap apa pun.

"Kenapa nggak diangkat?" Vera mengerutkan kening.

Kesalahan terbesarnya hari ini adalah, mengiyakan keinginan Vera untuk menginap. Jika seperti ini ia akan menunda untuk berbicara dengan keluarganya.

Astaga, seharusnya Dhan bilang padanya terlebih dahulu, kalaupun seperti itu, ia tidak akan mengizinkan Vera menginap dan dirinya ini tidak perlu menolak untuk berbicara dengan sang kakak.

VOTE

Dear Kamu, Asisten Ayahku #3 (END) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang