Happy reading!
Setelah makan siang, Dhan kembali mengantarkan Khanza ke kantor. Hening tercipta di antara keduanya, ada sesuatu yang ingin Dhan katakan, tetapi tertahan di ujung lidah. Sulit, ia takut respons yang diberikan kurang baik.
Inilah yang membuatnya selalu tertinggal. Hayan sering menegurnya yang katanya terlalu pemikir, kaku, monoton, ragu keluar dari zona nyaman dan terakhir gengsi. Dhan sudah sering belajar untuk melampaui diri sendiri, tetapi soal perempuan ia belum pernah mencoba.
"Leon udah selesai koas, Dhan?" tanya Khanza, perempuan itu menoleh kepadanya.
"Belum, bentar lagi kayaknya."
"Pasti berat banget," gumam perempuan itu.
Dhan masih bisa mendengarkan suara Khanza. "Emang, waktu Kak Andra dulu kayak gimana?"
"Ya, gitu. Aku sering ditinggal sendirian di apartemen. Ngajak ngobrol aja, nggak punya waktu, Kak Andra sibuk di dunianya."
"Nggak takut ditinggal sendiri?"
"Sekarang aja, aku sendiri, Dhan." Khanza terkekeh.
Mobil yang Dhan kendarai melewati pintu gerbang, memasuki area parkir. Sampai mesin itu mendapatkan tempat parkir yang pas, Dhan masih ragu untuk mengatakan sesuatu yang tertahan.
Ia takut pada satu kemungkinan, tetapi kalau dipikir, kapan dirinya akan maju jika tak bergerak mulai dari sekarang.
"Makasih, Dhan."
Ia menoleh, mengangkat sebelah alisnya. "Untuk?"
"Tumpangannya dan makanannya."
Dhan tertawa kecil, kemudian menggeleng. "Aku yang ngajak, nggak perlu bilang makasih."
"Harus itu," timpal Khanza.
"Iya, deh." Ia mengulum senyum. "Sama-sama."
Khanza membalas senyumnya, perempuan itu bersiap untuk keluar dari mobil. Dhan tahu ini kesempatan yang tepat untuk menyampaikan keinginannya, ia menarik napas terlebih dahulu sebelum bersiap dengan kenyataan di depan mata.
"Za," panggilnya dengan nada tertahan.
"Ya?" Perempuan itu bersikap biasa saja, seolah-olah tak ada yang mengganggu.
Tentu, karena ia belum mengatakannya. Berbeda lagi jika Khanza sudah mendengarkan keinginannya ini, entah akan berekspresi apa perempuan itu.
Dhan tahu, inilah saatnya. "Kamu mau, nggak, temenin aku ke nikahan Afif?"
Khanza diam tak langsung memberikan respons. Dhan dibuat menunggu. Dalam hati ia berharap, ajakan ini tidak berakhir memalukan. Jika iya, Dhan tak tahu apa yang akan ia lakukan di pertemuan mereka selanjutnya.
"Oke," jawab Khanza. "Dua minggu lagi, 'kan?"
Dhan mengangguk, senyum ia sunggingkan ketika sadar bahwa ajakannya membuahkan hasil. "Tapi ... kamu nggak ada kegiatan di hari hari sabtu? Soalnya, acara nanti--"
"Nggak ada," interupsi Khanza.
"Serius?" Perempuan itu mengangguk. "Nggak ada kajian?"
Khanza mengerutkan alis, menatap penuh keheranan kepada Dhan. "Tahu dari mana aku ikut kajian hari sabtu?"
Ditanya seperti itu, ia hanya teringat satu nama. "Nadila," jawabnya.
"Oh." Khanza membulatkan bibirnya. "Nggak ada, Dhan. Kalau aku nggak ikut, mereka juga pasti maklumi."
"Makasih." Dhan menyunggingkan senyum senang. "Ayo, turun. Aku antar sampai mejamu," ajaknya terdengar santai, sedangkan yang diajak membeliakkan mata.
"Nggak usah, Dhan."
"Nggak apa, aku sekalian mau ke ruangan ayah."
Ia lebih dulu turun, menunggu Khanza keluar dari mobil putih itu. Mulai hari Senin mereka akan sering bertemu, Dhan menyunggingkan senyum ketika mengingat lagi keputusannya yang kali ini tidak akan ia sesali.
Terserah apa yang akan terjadi nanti, yang jelas Dhan sudah siap akan keseharian itu.
----
"Kamu balikin asisten Ayah di mejanya, 'kan?" Pertanyaan itu menyambutnya ketika masuk ke dalam ruang kerja sang ayah.
"Apa, sih." Dhan duduk di sofa menyandarkan punggung dan mencari posisi ternyaman.
"Udah ketemu Pak Bima?"
Ia mengangguk. Hari ini pria itu nampak biasa saja ketika ia datangi. Entah bertahan sampai kapan wajah ramah itu, yang ia prediksi di hari Senin nanti semua tidak akan mudah ia jalani. Ini dunia kerja, bukan rumah.
"Jadi, gimana kencannya?"
Mendengar itu, Dhan mendengkus. Ayahnya ini memang sedang berusaha mencairkan ketegangan yang tercipta kemarin malam, padahal sekarang ia sudah merasa biasa saja. Intinya, kini ia lebih berserah.
Tidak baik berlama-lama dalam kecurigaan.
"Nggak ada yang kencan," sahutnya. "Makan bertiga dibilang kencan."
"Satunya setan, dong," celetuk Kenan, pria itu sedang menatap laptop ketika Dhan menoleh ke arahnya.
"Yah, aku lagi nggak mau bercanda."
Kenan mengangkat pandangan dari laptop, menatap ke arahnya. "Kalau udah kerja di sini, jangan bawa perasaan, ya."
Dhan tahu, ini saatnya ia mendengarkan petuah dari pria itu. Sejak kemarin ayahnya tak punya kesempatan untuk sekedar membicarakan hal ini. Lagi pula, ia juga tahu apa yang tak boleh dan boleh ia lakukan nanti. Sungguh, Dhan tak pernah berpikir untuk bersembunyi di balik nama keluarganya.
"Jangan semena-mena. Mentang-mentang anaknya Pak Kenan, kamu bertingkah semaunya."
"Ayah yang ngomong gitu, ya. Aku nggak pernah kayak gitu."
"Ayah, kan, hanya ingatin." Pria itu menimpali. "Ini yang paling penting, jangan pacaran di jam kerja."
Dhan bukan anak kecil, ia pun tahu itu dilarang dalam pekerjaan apapun. "Yah, ada nasihat yang lebih berfaedah, nggak?"
"Jangan membantah ucapan atasan."
"Aku langsung ajuin resign kalau kayak gini." Dhan mendengkus.
"Belum kerja udah mau resign."
Dhan tahu, ini tidak akan mudah dijalani. Namun, ia tak menyesal memilih jalan ini. Entah bagaimana di hari esok. Mau memprediksi pun, tidak akan mengubah takdir.
VOTE
Bintangnya!
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Kamu, Asisten Ayahku #3 (END) ✓
RandomSequel Different (Dhan-Khanza After story) Semua orang tahu, sudah lama aku menyukainya. Semua orang pun tahu, sampai saat ini aku belum berpaling darinya. Ketika remaja dan sampai saat ini aku dan dia telah menjadi dewasa, semua tetap sama. Aku ber...