"Atur kembali pertemuan dengan Pak Lukki, kalau bisa secepatnya sudah terjadwal," ucap Kenan.
Khanza mengikuti dari belakang sembari mendengarkan penjelasan pria itu. Sejak keluar dari ruang rapat, atasannya terlihat tak tenang, seperti ada yang sedang mengganggu. Semua jadwal dipercepat, ia harus mengatur ulang. Biasanya beliau tak melakukan pekerjaan terburu-buru.
"Pokoknya, lusa usahakan sudah tidak ada jadwal dengan klien. Kalaupun ada, alihkan kepada Vano."
Vano termasuk dalam Dewan Direksi. Umur lelaki itu masih muda, keponakan Kenan. Khanza baru tahu kemarin. Ya, Dhan yang memberitahukan kepadanya.
"Lusa saya harus terbang ke Padang, ada urusan keluarga," tambah Kenan.
Keluarga, berarti termasuk urusan Dhan. Mungkin lelaki itu akan ikut bersama atasannya. Jika begitu, ia harus menemui Dhan sekarang untuk meminta maaf soal kelakuan Vera di malam itu. Sungguh, ia tak menyangka hal tersebut akan terjadi. Sahabatnya memang adalah sosok yang tak pernah terduga.
"Baik, Pak," sahut Khanza.
Ia dan pria itu berpisah di depan pintu ruang kerja. Namun, belum melangkah untuk menuju mejanya, Khanza dibuat menoleh karena suara atasannya yang terkejut ketika membuka pintu. Entah pemandangan apa yang ada di dalam ruangan tersebut.
"Dhan, kalau Ayah nggak ada, jangan nongkrong di ruangan Ayah," semprot Kenan.
Khanza hanya mendengarkan sampai di situ karena atasannya langsung menutup pintu. Waktu istirahat sebentar lagi, mungkin itu alasan Dhan bersantai di ruangan Kenan atau karena urusan keluarga seperti yang dikatakan beliau tadi. Selama berada di kantor yang sama, baru kali ini Dhan melakukan hal tersebut.
"Si bos kenapa kaget, Za?" tanya Asni yang sedang duduk di kursi kerja, ada seorang perempuan bersamanya.
"Dhan ada di dalam, mungkin karena ngira ruangan nggak ada orang jadinya kaget," jawab Khanza.
"Dhan?" Seseorang yang duduk di hadapan Asni melayangkan pertanyaan, "siapa?"
"Mas Rafa." Asni menyahuti. "Kan, Cece udah bilang di sini namanya Rafa." Beralih kepada Khanza.
Sejak mengenal Dhan, Khanza selalu memanggilnya dengan nama tersebut, tidak pernah berganti. Maka, beri ia kesempatan untuk beradaptasi dengan sapaan baru untuk lelaki itu. Lagi pula Dhan belum cukup dua minggu berada di kantor ini, wajar saja ia tak bisa mengubah sapaan dengan cepat.
"Wajahmu kenapa jadi bengkok gitu, Ran?" Asni memerhatikan perempuan di hadapannya.
Rani terus menatap Khanza, seperti sedang menerka sesuatu. Dipandang seperti itu ia memilih untuk duduk di kursinya, berusaha tak memedulikan. Hanya karena sapaan yang berbeda, ia harus mendapatkan tatapan seperti itu. Entah apa yang terjadi pada penghuni gedung ini.
Mungkin saja besok di antara para karyawan, terdengar gosip tentang dirinya lagi. Ah, Khanza sudah terlalu paham pada sikap menyimpang kantor ini. Memang mereka bekerja keras, tetapi di waktu singkat akan tetap menyisihkan sesi menggosip.
"Jadi, bener kamu udah kenal Mas Rafa sebelum masuk kantor ini?" tanya Rani.
Perempuan tersebut pernah mencari tahu tentang dirinya. Saat itu Khanza belum mengenal Rani, setelah beberapa hari berlalu, di lobi kantor, Asni yang memberitahukan kepadanya. Hanya sekadar memberitahu, bukan berkenalan.
"Iya," jawab Khanza.
"Ooh ...," Rani mengangguk paham, "berarti tahu kalau Mas Rafa itu anak haram?"
"Ha?" Khanza menatap Rani dengan mata terkejut dan bertanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Kamu, Asisten Ayahku #3 (END) ✓
RandomSequel Different (Dhan-Khanza After story) Semua orang tahu, sudah lama aku menyukainya. Semua orang pun tahu, sampai saat ini aku belum berpaling darinya. Ketika remaja dan sampai saat ini aku dan dia telah menjadi dewasa, semua tetap sama. Aku ber...