26 : Suka Ikut Campur

7K 671 27
                                    

"Ancaman lo salah sasaran."

Dhan tak menyangka bisa mengatakan itu. Ia tak pernah meruntuhkan kepercayaan diri seorang perempuan. Namun, kali ini ia harus melakukannya, kenyamanan Khanza sedang terancam. Dhan butuh memperingatkan Rani. Jika tidak, ia sendiri yang akan merasa tak tenang di kantor ini.

Seperti biasa, kantin karyawan sangat ramai di jam istirahat. Dhan hanya membeli minuman kaleng karena Pak Bima sudah menyiapkan makanan untuknya di ruang kerja. Kata pria itu, mengantre atau makan di luar kantor hanya akan membuang waktu kerja.

Ya, ia adalah karyawan terajin, dipilih oleh Pak Bima untuk menyeimbangkan kerja beliau yang tidak bisa dibilang setengah-setengah.

Namun, kali ini Dhan menunda untuk menemui pria itu sebelum ia bertemu dengan Khanza. Menurut beberapa karyawan yang ia tanyai, perempuan tersebut berada di lantai paling atas. Entah untuk apa, dugaan sementara, Khanza sedang menyendiri di rooftop.

Setelah perempuan itu menghilang dari pandangan, Dhan menemui Rani yang menatap terkejut kepadanya. Kemudian tanpa berpikir panjang, ia mengucapkan kata tajam tersebut. Ah, ia merasa begitu keren, membela seorang perempuan yang lemah. Seharusnya tadi diabadikan saja momen itu, karena tidak akan terjadi dua kali ia memarahi pengancam Khanza.

Jakarta mendung, ia memandang punggung perempuan itu yang lesu, tangan berada di pembatas atap, pandangan lurus ke bangunan di bawah sana. Mungkin Khanza ingin sendirian, tetapi ia di sini untuk mengisi sepi. Terserah mau dikatai apa.

"Ekhem," dehamnya, mengambil tempat di sebelah Khanza. Seharusnya ia membawa dua minuman agar supaya suasana bisa lebih mencair. "Seperti biasa, kamu nggak bisa diam kalau itu berhubungan dengan aku." Dhan terlalu percaya diri.

Mohon jangan tertawa karena ia pun sadar sedang mempermalukan diri. Khanza menoleh ke arahnya, tatapan itu ia balas dengan senyuman.

"Maaf," ucap Khanza, memalingkan wajah ke bangunan di bawah sana, "aku terlalu ikut campur."

"Tapi aku suka, aku nggak terganggu." Dhan menimpali untuk menghibur. "Seharusnya aku bilang makasih, kamu selalu di pihak aku." Meskipun kenyataannya mereka pernah beda pendapat.

Khanza diam, tak memberikan respons. Jari saling bertaut, bergerak tak tenang. Dhan pikir perempuan itu sedang gelisah. Entah kenapa, dugaannya sekarang, karena tak nyaman dengan kejadian tadi saat ia menatap Khanza tak berekspresi di depan ruangan ayahnya.

"Aku beneran nggak terganggu, Za," ucapnya menenangkan. "Tadi aku juga udah tegur si Rani."

"Mbak Rani, dia lebih tua dari kamu," sela Khanza sembari menilik ke arahnya.

Dhan mengangguk paham. "Aku bukan anak haram, Za. Orang tuaku dinikahkan di saat ayah masih pacaran sama Tante Viona."

"Kenapa jadi cerita?"

Sepertinya perempuan itu tak setuju jika ia bercerita tentang masa lalu. Khanza bukan orang baru, tak ada rasa segan untuk mengungkapkan semua itu. Malahan ia akan lebih merasa lega jika temannya ini tahu kebenaran dari kehidupannya.

"Biar kamu nggak percaya sama mereka," ujarnya.

Khanza menggeleng. "Nggak perlu Dhan, ucapan mereka nggak bakalan ngaruh ke penilaian aku sama kamu. Sampai kapan pun kamu akan tetap jadi temanku."

Dhan tersenyum lega, seperti yang sudah ia duga, Khanza punya hati yang tak mudah terpengaruh.

Sekian detik berlalu ia malah memasang wajah muram. "Teman doang, nih? Nggak bakal naik satu tingkat atau dua tingkat?"

"Hah?" Perempuan itu malah terlihat bingung.

Ia terkekeh, menumpu tangan di pembatas atap, minuman kaleng yang belum terbuka ia gerakkan untuk menghilangkan gugup. Sebelum memulai kembali percakapan, Dhan menghela napas kasar. "Aku masih sama, Za."

Khanza hanya diam, tetapi dari pandangan yang diberikan kepada Dhan, perempuan itu sedang menunggu ia melanjutkan ucapan. Sungguh, dirinya semakin gugup dipandang seperti itu.

"Aku mau bilang suka, tapi kita udah terlalu tua buat ngomong kayak gitu," jelasnya, "yang jelas aku serius."

Mata perempuan itu mengerjap beberapa kali, Dhan semakin dibuat gugup karena Khanza sama sekali tak memberikan respons berupa ucapan. Masih saja terkejut, bahkan sampai dua menit berlalu tetap tak ada jawaban.

"Za?"

Khanza seperti tersadar, bukannya menjawab, malah memilih untuk memalingkan wajah. Perlakuan itu membuat kepercayaan diri Dhan runtuh, ia seperti ingin menjatuhkan diri dari atap gedung ini.

"Za, aku serius mau sama kamu," katanya, masih menatap wajah samping perempuan itu. Baiklah, ia sadar ucapan tadi terlalu ambigu. "Jangan diam aja, dong. Aku jadi malu, pengin loncat."

"Eh?" Khanza menoleh, "apaan, sih?"

Tidak, bukan itu yang Dhan tunggu keluar dari mulut Khanza. "Aku serius, Za."

"Serius mau loncat?"

What?

Dhan mengulum bibir menjadi garis lurus tak berekspresi. "Aku lagi serius." Menghela napas pelan. Ia membuang pandangan ke arah jalan yang berada di bawah sana. "Aku mau hidup sama kamu. Ini serius, bukan bercanda."

Menggoyang kembali kaleng yang ia genggam, Dhan menghilangkan gugup yang berangsur hilang. Ia sedang berada dalam masa rileks, setelah sadar telah mengucapkan kata yang telah disimpan sejak lama. Lega rasanya, tetapi seperti tergantung. Khanza belum memberikan tanggapan, sedangkan ia sudah malu menatap perempuan itu.

"Kalau serius, jangan lompat. Temui abiku," kata Khanza, memberikan efek berlebihan kepada Dhan.

Ia tak sengaja melepaskan kaleng minuman di tangannya, menatap penuh terkejut kepada perempuan itu. Decitan ban mobil yang direm mendadak, terdengar dari bawah sana. Minuman bersoda itu menimbulkan masalah.

"Kenapa harus sekarang?" Ia menggerutu dalam hati.

Dhan mundur selangkah. "Itu mobil siapa?" tanyanya panik, melirik Khanza yang ternyata ikut melangkah mundur sepertinya. Percuma ia bertanya, perempuan itu pun pasti tak sempat melihat.

"Nggak tahu," jawab Khanza.

Sudah ia duga. Dhan hanya sempat melihat warnanya, yaitu hitam. Kaca depan mobil tersebut kini sudah penuh dengan minuman soda. Pasti, siapa pun yang berada di dalam sana akan merasa terkejut dengan kaleng yang tiba-tiba jatuh dari langit.

"Mobil ayah, bukan?" Dalam hati ia sangat berharap itu adalah mobil sang ayah, karena warnanya sama.

"Pak Kenan nggak punya jadwal keluar kantor, kalaupun iya, pasti aku dikasih tahu."

Baiklah, Khanza semakin membuatnya panik. Dhan kembali mendekati pembatas, menunduk ke bawah untuk memastikan mobil siapa yang menjadi korban ketidaksengajaannya.

"Pak Kurni?" Seketika mata berbinar melihat pria itu, Dhan merasa lega. "Za, aku lolos dari maut." Ia tertawa, merogoh saku celana dan mengeluarkan ponsel dari sana.

"Pak Kenan ada di sana?" tanya Khanza, perempuan itu ikut melihat ke bawah. "Ayahmu mau ke mana?"

"Nggak tahu," jawab Dhan, ia menempelkan ponsel ke telinga. "Halo, Yah. Maaf, aku nggak sengaja."

Selanjutnya ia mendengarkan omelan pedas seorang Direktur Utama di tempatnya bekerja. Sedikit malu karena Khanza ikut mendengarkan. Baru kali ini ia dimarahi di depan seorang perempuan. Namun, tak sedikit pun penyesalan itu datang, semua tertutupi dengan rasa bahagia.

Dhan sudah menyusun rencana selanjutnya.

VOTE

OTW EPILOG 🎆

Dear Kamu, Asisten Ayahku #3 (END) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang