VOTE
Bintangnya, Kak."Za, gue nginep, ya?" Nadila menaik-turunkan alisnya.
Khanza mengangguk untuk mengiyakan. Malam ini ia tidak akan sendirian di apartemennya, ada Nadila yang akan mengoceh sepanjang malam di sebelahnya. Doakan saja, semoga perempuan itu mendapatkan banyak orderan. Otomatis akan sibuk dengan ponsel daripada mengoceh tentang hal-hal ajaib.
Sibuknya Nadila dalam bekerja mengalahkan para CEO. Tak akan menggubris orang di sekitar. Khanza sempat terbayang, bagaimana jika ada kebakaran dan perempuan itu bersikap tak acuh karena pelanggan yang ingin diberi respons. Mungkin jualannya pun akan ikut hangus.
"Oh, ya. Lo udah mikirin hadiah buat nikahan Afif?" Nadila beralih kepada Dhan yang sibuk mengunyah. "Belum pasti," tebak perempuan itu.
"Belum." Dhan menjawab sembari menggeleng.
"Mumpung gue punya barang ready--"
Dhan mengangkat tangan, menghentikan Nadila yang hendak mempromosikan jualan. "Nanti gue minta tolong ke bunda."
"Iiissh ...." Nadila mendengkus. "Kata Afif jomlo dilarang datang."
"Dih, kalau dilarang, gue nggak bakal diundang."
"Ciyee ... yang ngaku jomlo."
Khanza hanya tersenyum melihat perseteruan mereka berdua, entah untuk yang keberapa kalinya di jam makan siang ini. Nadila selalu cari gara-gara saat Dhan memilih diam, lelaki itu kadang tak acuh. Mungkin malas menanggapi dan lelah bertengkar.
"Kamu langsung singgah ke tempatku atau jalan dulu?" tanya Khanza kepada Nadila.
"Langsung, deh. Gue capek, mau tidur."
Ia mengangguk, paham bahwa temannya ini baru menyelesaikan pekerjaan yang membuat lelah. "Kamu duluan aja, aku pulangnya sebelum Maghrib."
"Oke."
"Wait," sela Dhan. "Lo berdua sedekat itu?"
Khanza mengerti maksud lelaki itu. Membiarkan Nadila lebih dulu ke apartemennya seperti mengatakan bahwa perempuan itu memiliki akses bebas di tempatnya.
"Kenapa? Iri?"
Dhan berdecak. "Bukan gitu," timpalnya.
"Iyalah, kita deket. Pas lo pergi, Khanza itu cuma punya gue di Jakarta," jelas Nadila.
"Ada Kak Andra." Lelaki itu menimpali.
Khanza tertawa kecil, mereka kembali bersdebat. "Iya, Dhan. Kita berdua dekat. Temenannya dari masih jadi mahasiswa baru."
"Tuh." Nadila tersenyum bangga.
Mengingat lagi masa-masa itu, pertama kali bertemu kembali dengan Nadila di kafe dekat kampus. Seperti yang telah ia kenal, teman Dhan itu terlihat heboh ketika mereka saling tatap.
Di kesempatan selanjutnya ia bertemu dengan Leon. Lelaki itu banyak bercerita tentang Dhan yang berada di Australia, meninggalkan keluarga untuk studi. Hubungannya dengan Leon tidak sedekat bersama Nadila, dikarenakan berbeda jenis dan pertemuan yang sangat jarang.
"Dhan, beli di gue, ya." Nadila nampaknya belum menyerah untuk mempromosikan jualannya. "Jadi, ada kalung yang gue beli, tapi gue nggak suka."
"Kalau nggak suka, kenapa dibeli?" tanya Dhan. "Kebiasaan lo belum hilang, ya."
"Ini yang bagus punya."
"Berapa?"
Khanza tahu. Dhan bertanya, tetapi tak berniat untuk membeli. Jika pun membeli, pasti karena terpaksa.
"Ini satu toko sama gelang yang lo beli di gue waktu itu. Jadi, kualitasnya nggak perlu diragukan lagi."
Dhan mengangkat sebelah alisnya. "Gelang yang mana?"
Nadila mendengkus, sendok yang dipegang, menjadi alat untuk mengetuk kepala lelaki itu. "Yang buat Khanza waktu itu!" semprotnya, tak menggubris Dhan yang mengaduh.
Disebut nama oleh Nadila, Khanza mengangkat wajah dari makanan ke arah perempuan itu. Ia baru tahu gelang tersebut dibeli dari Nadila.
"Oh ...," gumam Dhan.
"Sayangnya dia udah nggak pakek," ucap Nadila membuat mata tertuju ke arah pergelangan tangan Khanza.
Tak ingin ada kesalahpahaman, Khanza bersiap memberikan alasan, "Udah kekecilan," singkatnya.
"Kalau jualan itu yang bisa dipakai seumur hidup, La."
Nadila tertawa. "Palingan kalau dia udah nikah sama cowok lain, bakal dilepas," celetuknya.
Dhan diam tak menanggapi, sedangkan Khanza memalingkan wajah ke luar restoran. Kendaraan yang terparkir menjadi pengalihan rasa ingin tahu akan ekspresi lelaki itu saat ini.
"Lo berdua kenapa diam?" tanya Nadila.
"Gue masih lapar, La." Dhan menanggapi.
Mendengar suara lelaki itu, Khanza menoleh. Dhan terlihat serius dengan makanan yang kini hampir habis. Tak ada tanda terganggu karena ucapan Nadila tadi.
Menyadari pikiran yang lari entah ke mana, Khanza menarik gelas di hadapannya, kemudian menghabiskan isinya. Bodoh, tanpa ia sadari hati ini sempat kecewa akan respons lelaki itu.
Benar-benar bodoh. Khanza merutuki dirinya sendiri, merasa malu pada sikapnya.
"Aku ke toilet dulu." Ia memilih menghindar sebentar, demi menghilangkan rasa malu yang dipendam sendiri.
"Mau ditemenin?" tawar Nadila.
"Nggak usah. Kamu di sini aja." Menolak lebih baik untuk saat ini. Ia tak ingin Nadila melihat tingkahnya.
"Jangan lama," kata perempuan itu.
Ia mengangguk mengiyakan. Dua puluh menit berada di toilet rasanya tidak akan cukup untuk menghilangkan perasaan ini. Jika disuruh pilih, lebih baik ia meninggalkan tempat ini dan tak kembali ke hadapan kedua temannya itu.
Pernah berharap, lalu dijatuhkan dalam beberapa menit?
Itulah yang Khanza rasakan sekarang.
VOTE
Bintangnya, Kak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Kamu, Asisten Ayahku #3 (END) ✓
RandomSequel Different (Dhan-Khanza After story) Semua orang tahu, sudah lama aku menyukainya. Semua orang pun tahu, sampai saat ini aku belum berpaling darinya. Ketika remaja dan sampai saat ini aku dan dia telah menjadi dewasa, semua tetap sama. Aku ber...