31 : Masa Lalu

6.1K 630 33
                                    


---

"Serius, kamu nggak apa-apa?" Dhan tak bisa berkutik sekadar memegangi perempuan itu untuk membantu berjalan.

Mereka sudah berada di basement apartemen, menunggu seseorang yang diminta Khanza untuk menjemput di tempat ini, karena perempuan itu butuh pegangan untuk berjalan, sedangkan Dhan yang berada di sana tak bisa berbuat apa-apa.

"Ke rumah sakit aja, ya?" Sedari tadi ia sudah menawarkan ini berkali-kali kepada Khanza.

Perempuan itu hanya tertawa kecil di bangku penumpang tepat di sebelahnya. "Aku udah minum obat, tadi juga udah istirahat, sekarang aku baik-baik aja," jelas Khanza, senyum mengakhiri ungkapan, Dhan yakin itu sengaja agar terlihat sehat.

Mungkin perempuan itu tak se-pucat tadi, tetapi tetap saja Dhan khawatir. Dibandingkan tadi, suara Khanza jauh lebih lantang. Menjawab pertanyaannya bukan dengan suara lemah lagi.

"Nanti Vera yang jemput aku, kita ngobrol bentar, ya?" Khanza meminta persetujuan.

"Kamu harus istirahat," timpal Dhan.

Setelah mengungkapkan perasaan, rasanya lebih mudah untuk memberi perhatian. Seperti tak ada hambatan, Dhan dengan lantang mengucapkan atau memberikan, ia bahkan tak segan untuk menahan ekspresi atau menatap mata perempuan itu lama. Namun, ia tak ingin nyaman dalam hubungan seperti ini.

"Aku baik-baik aja, itu Vera." Khanza menunjuk seseorang di luar mobil dengan ujung dagu. Ia menurunkan kaca mobil berbicara dengan temannya itu. "Masuk dulu, Ra. Mumpung kalian ketemu, kita ngobrol bentar."

Dhan tak menduga, sahabat dari Khanza mengenal salah satu temannya di Australia. Beberapa waktu lalu ia sempat menyinggung salah satu perempuan yang begitu dekat dengannya di negeri kanguru. Mereka hampir menjalin hubungan asmara, jika saja Dhan punya perasaan yang sama.

Ia tak yakin percakapan ini akan berakhir damai, mengingat lirikan Vera padanya begitu tajam. Perempuan itu duduk di bangku belakang, menunggu seseorang untuk membuka percakapan.

"Kenapa nggak ngobrol di dalam aja?" Vera menyilangkan tangan di depan dada.

"Dhan nggak punya waktu, dia harus balik ke kantor. Di tempatku ada umi, kamu tahu, kan, maksudku?" jelas Khanza.

Suasana berubah, Dhan bisa menangkap ada perdebatan hebat di antara mereka sebelum pertemuan ini. Entah kapan, tetapi satu yang ia ketahui, semua karena dirinya.

"Udah ngasih tahu ke dia?" Vera menunjuk Dhan. "Padahal ini nggak perlu dibahas, Za."

Khanza menggeleng tegas. "Kita bakalan bertengkar lagi kalau nggak dengar sumber dari dua arah. Aku cuma nanya ke Dhan, kenal Lusi atau nggak."

"Jawabannya?" Vera malah bertanya kepada Khanza, padahal orang yang bersangkutan ada di tempat yang sama dengan mereka.

"Iya," jawab Dhan tanpa berpikir panjang. Jika terlalu lama, ia takut ada pertikaian hebat antara dua perempuan ini. "Gue temannya waktu di Australia."

"Teman untuk baper?" timpal Vera, wajahnya berubah sinis.

"Maksudnya?" Dhan mengerutkan kening. "Gue nggak pernah berniat kayak gitu."

"Tapi teman gue nggak merasa begitu," Vera mendengkus, "kalian dekat, dia jatuh cinta, dan lo tolak dia."

Dhan akui hubungannya dengan Lusi di waktu itu jauh lebih dekat dibandingkan hubungannya dengan Khanza di hari ini ataupun kemarin. Maksudnya lebih dekat adalah, mereka tak segan saling membagi cerita, bercanda berlebihan sampai menyinggung pihak lainnya, bertengkar dan detik kemudian berbaikan, bahkan bersentuh kulit walau dalam konteks yang wajar.

Jika itu Khanza, jelas ia merasa segan. Keduanya berbeda dalam sifat dan sikap serta didikan, maka dari itu Dhan pun memperlakukan mereka dengan cara berbeda.

Ia tak habis pikir, apa yang terjadi di masa lalu membuahkan hasil di hari ini. Khanza menatapnya dengan ekspresi santai, Dhan yakin perempuan di sebelahnya ini sudah mendengarkan cerita dari sisi Lusi atau Vera.

Sungguh, ia tak pernah bermaksud membuat Lusi jatuh dalam perasaan itu. Perasaannya murni untuk bersahabat, bukan menjalin hubungan seperti yang ada di pikiran Lusi.

"Gue minta maaf, tapi waktu itu gue benar-benar cuma mau bersahabat," jelas Dhan.

Vera menghela napas. "Gue tahu, cowok bebas menentukan." Wajah sinisnya tak berubah sedikit pun. "Boleh gue tahu alasannya? Yah, siapa tahu kekesalan gue ke lo berubah."

Dhan tak langsung menjawab, ia menoleh kepada Khanza yang masih bersikap santai seperti sedang menikmati suasana di tepi pantai. Sungguh, ia tak tahu apa yang ada di dalam pikiran perempuan itu sekarang. Rasanya gemas sekali, ingin mengetuk kepala Khanza.

"Kenapa lihatin aku?" Perempuan itu bertanya.

"Kamu udah tahu jawabanku," ujar Dhan.

Ya, jawabannya adalah perempuan di sebelahnya ini. Jauh sebelum ia bertemu Lusi, hatinya sudah tertambat kepada Khanza. Maka dari itu, ia selalu dongkol kepada Hayan saat mengatakan dirinya adalah sosok monoton tak mau bergerak soal asmara, padahal ini bentuk setia yang sesungguhnya.

Entah siapa yang ia ikuti, selama nyaman dan tak terganggu, Dhan bersikap bodoh amat.

"Kamu jawab aja, aku mau keluar," kata Khanza meraih sabuk tasnya kemudian menyampirkan di bahu.

"Kenapa gitu?" Dhan bertanya sebelum perempuan itu beranjak.

Khanza segera membuka pintu. "Karena aku nggak mau denger."

Dari ucapan perempuan itu, terdengar tidak bersahabat, tetapi sebenarnya Dhan melihat senyum tipis di bibir Khanza. Ah, ternyata ini hanya soal malu untuk mendengar, sebelum pintu benar-benar tertutup dan menyisakan ia dan Vera di dalam mobil, Dhan mengucapkannya dalam satu tarikan napas.

"Karena dari dulu hati gue cuma milik Khanza," ucapnya membuat perempuan yang kini sudah berada di luar mobil, tak jadi menutup pintu.

"Aku masih dengar," gerutu Khanza menatap kesal ke arah Dhan.

"Emang sengaja." Ia tertawa.

Khanza langsung cemberut, memilih angkat kaki dari sana. Dhan masih tertawa, tak ada keinginan untuk mengejar. Seperti yang dikatakan perempuan itu tadi, ia masih punya pekerjaan di kantor, maka adegan minta maaf ditunda dulu.

"Udah ketemu Lusi?" tanya Vera menghentikan tawa Dhan.

Ia menoleh. "Belum," jawabnya. Pertemuan terakhir mereka, setelah wisuda strata satu. Selanjutnya, Dhan tak pernah bertemu dengan Lusi lagi, bahkan tidak pula saling menghubungi.

"Sampai sekarang dia belum move on dari lo." Vera membuka pintu mobil, bersiap untuk pergi. "Selamat untuk hubungan kalian, semoga langgeng." Diakhiri dengan senyum.

Ah, Dhan baru saja dimaafkan oleh sahabat dari Khanza. Beruntung alasannya adalah cinta kepada perempuan itu, jika bukan, ia tak tahu tatapan tajam Vera kepadanya akan selalu bergentayangan entah sampai kapan.

---

Dear Kamu, Asisten Ayahku #3 (END) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang