15 : Dengarkan Nadila

6.9K 609 19
                                    


Happy reading!

----

"Jangan bercanda, La." Leon menatap tajam perempuan itu.

"Bodoh amat," timpal Dhan.

Kedua insan yang sedang bersamanya langsung menatap penuh keterkejutan. Ia bersandar di sofa, menunggu mereka berdua membuka mulut untuk bertanya atau protes sekali pun.

"Kenapa gitu?" tanya Leon.

"Lo nyerah, Dhan?" Nadila tertawa lepas. "Pengecut lo! Gue nggak mau kalau lo kalah. Eh, gue udah buang malu SKSD sama Khanza dan alhamdulillah akhirnya bisa akrab. Gue udah berjuang misahin dia dari si Akbar, sampai-sampai berantem sama sahabatnya Khanza yang namanya Vera. Gue benci cewek itu sampai sekarang," jelas perempuan itu dalam tempo yang singkat.

Dhan serta Leon mendengarkan, tetapi karena terlalu cepat, mereka tak begitu bisa mencerna apa yang diucapkan Nadila. Kedua lelaki itu saling tatap, berharap ada yang mengerti dengan penjelasan tadi.

"Gue nggak terima, Dhan. Pokoknya besok ikut gue ke suatu tempat. Lo juga, Le." Nadila beralih pada Leon. "Lo harusnya dukung Dhan, bukan cuma diam di tempat nunggu kabar. Sebagai sesama saudara kita harus saling membantu. Lo, kan, lebih berpengalaman soal perempuan."

Leon hanya mengangguk pasrah mengiyakan ucapan Nadila, sedangkan Dhan dibuat heran. Entah, sepertinya perempuan itu yang lebih bersemangat darinya. Ia hargai itu, tetapi jika begini sama saja usaha ini tidak akan murni seratus persen dirinya yang perjuangkan.

"Wait, lo kenal Akbar?" tanya Dhan setelah beberapa saat mengulang ucapan Nadila di kepalanya.

Ia pun tidak begitu yakin mendengarkan nama itu disebut. Nadila terlalu cepat menggerakkan bibir, meskipun suara perempuan itu menguasai ruangan.

"Iya." Nadila menatapnya. "Bapaknya punya pesantren, teman Khanza dari semester satu. Lo nggak kenal dia, Le?" beralih pada Leon.

Lelaki itu menggeleng.

Nadila menghela napas kasar. "Inginku memaki."

Dhan tertawa kecil. Ia tahu maksud Nadila. Semakin dewasa, Leon malah menjadi kaku untuk sekedar bergaul, mengingat Akbar begitu dekat dengan Khanza, maka ia asumsikan lelaki itu berada di fakultas yang sama dengan Khanza, pun berarti berbeda fakultas dengan Leon.

Untuk Nadila, Dhan tahu perempuan itu pasti memiliki banyak teman di fakultas lain. Leon adalah cerminan dari dirinya yang jalan di tempat jika soal hati. Mungkin karena kesibukan. Entahlah, ia pun tak sempat bertanya.

"Terus, maksud lo yang Khanza tadi, apa?" Leon memutar kursi, mengarah ke Nadila. Pembicaraan ini akan menjadi sangat serius.

"Hm?" Nadila mengangkat alisnya. "Gue cuma mau lihat ekspresinya Dhan," jawabnya dengan wajah tak berdosa.

"Nggak lucu." Mengambil bantal yang ada di sofa, Dhan melemparkan kepada perempuan yang sedang tertawa lepas. "Keluar lo!"

Nadila semakin tertawa.

"Keterlaluan lo, La." Leon memarahi. "Lo nggak lihat ekspresinya Dhan tadi?"

"Lihat." Perempuan itu menyahuti. "Lucu lo Dhan."

"Nggak jelas, nih, anak." Dhan mendengkus.

Untuk sebuah alasan, ia merasa sangat kesal. Nadila bercanda di waktu yang kurang tepat. Ah, bukan hanya waktu, tetapi bahan bercandaannya pun salah besar.

"Gue ke sini cuma mau ngajak kalian ke acara yang berfaedah." Nadila duduk bersila di atas ranjang, bantal berada di pangkuan. "Kalian harus pakai baju koko, kita ke kajian islam, acara terbuka untuk umum di kampus."

"Alhamdulillah," ucap Dhan dan Leon bersamaan.

"Sejuk dada gue denger lo mau ikut kajian." Dhan tersenyum tulus, bersyukur atas perubahan Nadila. "Harusnya kita tumpengan, Le."

"Ah, bukan cuma tumpengan, bagi-bagi sembako kalau perlu." Leon menanggapi. "Gue curiga, ini pasti ada apa-apanya." Tatapan meneliti Nadila, mencari kebenaran.

"Ada yang lo rencanain, 'kan?" tuduh Dhan.

Nadila menggeleng. Wajah perempuan itu menjadi serius, ada sedikit kesedihan ketika dicurigai menyembunyikan sesuatu. "Kalian dukung, kek." Cemberut.

Bagi Dhan, baru kali ini ia melihat seorang Nadila cemberut ketika berada dalam situasi seperti sekarang.  Biasanya bersikap biasa saja, memberikan alibi yang ketahuan bohongnya. Namun, ia tak langsung percaya. Perempuan ini memang tak pantas untuk langsung dipercayai.

"Iyain aja, Dhan. Masa kita nolak ilmu," ucap Leon.

Jika dipikir kembali, benar juga apa kata Leon. Tidak ada salahnya. Kali ini Nadila mengajak mereka ke suatu tempat bukan untuk melakukan dosa. Ia anggukan kepala, menyanggupi permintaan perempuan itu.

"Fix, hari sabtu kita ikut kajian," seru Nadila terlihat girang. "Aku harus beli gamis." Perempuan itu langsung beranjak dari kasur.

Leon dan Dhan saling pandang, sebelum salah satu di antara mereka berucap, Menyuarakan pertanyaan.

"Kenapa harus beli?" tanya Dhan.

Nadila yang hampir mencapai pintu, menoleh. "Karena gue nggak punya gamis."

Seketika kedua lelaki itu dibuat melogo, sedangkan Nadila dengan santainya melenggang keluar kamar.

Jangan bertanya, Dhan pun tak tahu harus menjelaskan seperti apa sosok perempuan itu di setiap hari.

VOTE

Maaf aku telat up.
Part selanjutnya aku up cepat, deh.

Dear Kamu, Asisten Ayahku #3 (END) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang