24 : Jangan Nikah Dulu

8K 652 21
                                    

Pemanis 😘

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pemanis 😘

---

Setelah mengantarkan Khanza pulang, Dhan kembali ke rumah dan langsung disambut Hayan yang sedang menunggunya di teras. Padahal, ia sudah mengirimkan chat untuk menyuruh masuk, ada asisten rumah tangga yang akan membukakan pintu dan menunjukkan kamarnya.

Hayan bilang tak apa, lagi pula ada penjaga keamanan yang menemani di sana. Dhan tak langsung pulang setelah berada di basement. Ia malah berdiam di dalam mobil, menyusun kembali rencana yang dikacaukan oleh Vera.

Perempuan itu tak menyukainya. Kini ia mengerti mengapa Nadila membenci Vera, berlagak seperti sedang ingin menjatuhkan lawan saat di masjid kampus minggu lalu. Ada persaingan yang terjadi di antara keduanya. Nadila berada di pihak Dhan, sedangkan sahabatnya Khanza entah memihak siapa.

Jujur ia terganggu dengan keberadaan Vera, tetapi bertengkar dengan perempuan bukan gayanya.

"Yuk, masuk," ajaknya pada Hayan.

Lelaki itu mengikutinya dari belakang. Alasan Hayan menginap di tempatnya karena jarak rumah yang jauh dari gedung acara. Ada mata yang ingin diistirahatkan, Hayan takut menyetir dalam keadaan mengantuk.

Suara hentakan kaki yang diajak berlari terdengar ketika mereka menaiki tangga. Ada seseorang yang masih berkeliaran di lantai atas, padahal waktu sudah menunjukkan pukul 01.20.

"Mas!" seru gadis kecil yang terlihat ceria menyambutnya.

Mata Dhan langsung membulat, seketika kepala menengok ke kiri dan ke kanan, mencari seseorang yang sedang bersama Risya malam ini. "Kenapa belum tidur?" tanyanya ketika sadar adiknya sendirian bermain tanpa ada pengawasan.

"Siapa? Ponakan lo?" Hayan mendekat, memperhatikan adiknya sembari berjongkok menyesuaikan tinggi mereka. "Hai, Cantik."

Risya langsung memeluk kaki Dhan, nampaknya gadis kecil itu tak menyukai Hayan atau terganggu dengan keberadaan temannya. Seperti biasa, Risya tak menyukai orang baru. Ini kali pertama mereka bertemu, otomatis adiknya menganggap Hayan sebagai orang asing.

"Adik gue," jawab Dhan kemudian menggendong Risya. "Ayah sama bunda di mana?"

"Tidur." Mata gadis kecil itu tidak menandakan sedang mengantuk.

"Adik angkat?" Hayan mengerutkan kening.

"Adik kandung, lah." Dhan mendengkus tidak terima.

Ia akui wajar saja Hayan terlihat terkejut bahkan tak percaya jika ia memiliki seorang adik. Usia mereka yang terlampau jauh, Dhan lebih cocok dipanggil paman. Mungkin jika ia membawa Risya ke acara reuni, pasti mereka akan langsung dikira ayah dan anak. Ah, yang itu lebih parah.

"Serius?" Hayan masih saja berekspresi terkejut dan tidak percaya. "Dhan, lo nggak lagi bohongin gue, 'kan?"

"Nggak ada untungnya," timpal Dhan. "Itu kamar gue, masuk aja. Gue mau anter Risya ke kamar bokap nyokap." Ia menunjuk pintu kamarnya dengan ujung dagu.

Dhan langsung menuju kamar orang tuanya. Pintu tak terkunci, pantas saja Risya bisa keluar dari sana. Memang adiknya masih tidur di kamar ayah dan bunda, ada kasur kecil berada di sudut kamar yang dikhususkan untuk Risya.

Dengan sangat hati-hati, ia menurunkan Risya di kasur tersebut. "Tidur, ini udah malam," katanya di dalam pencahayaan yang minim.

"Risya belum ngantuk."

Entah apa yang membuat adiknya belum mengantuk. Dugaan sementara adalah terlalu lama tidur siang atau terlalu cepat tidur, yaitu tidur di sore hari sehingga terbangun tengah malam dan kantuk pun hilang karena waktu tidur sudah cukup. Ya, mungkin saja.

"Risya tidur, ya. Mas juga udah ngantuk, nggak ada yang nemenin Risya main."

"Risya nggak ngantuk!" protes adik kecilnya.

"Sssttt ...." Ia penutup mulut sang adik.

"Ada apa?" Suara seorang wanita terdengar. "Dhan ngapain di sini?"

Dhan menoleh, bundanya sudah terbangun. Wanita itu menyalakan lampu, mata setengah tertutup menandakan masih mengantuk. Ruangan yang sebelumnya temaram, kini terang karena adanya pencahayaan.

"Risya, Bun. Aku baru pulang, terus lihat dia di luar lagi main sendirian," jelas Dhan.

Nada mengucek mata. "Ah, kebiasaan ayahmu, pintu nggak dikunci sebelum tidur," gerutunya. "Kamu tidur, gih. Biar Bunda yang urus Risya."

Dhan mengecup kedua pipi adiknya. Ia selalu gemas pada pipi bakpau gadis kecil itu. "Good night," ucapnya.

Pemandangan ketika ia menutup pintu kamar, ayahnya tertidur lelap dengan gaya bebas yang tak enak dipandang mata. Andai bundanya tak ada di ruangan tersebut, Dhan akan mengabadikan pemandangan itu dan menjadikan sebagai bahan ledekan. Maka tak akan tenang hidup Kenan.

"Dhan, serius itu adik lo?" tanya Hayan, menyambut kedatangannya di kamar pribadi. "Selisih jauh banget."

Semua pun tahu, tak perlu diperjelas. "Ya, emang dikasihnya pas gue udah tua. Mau gimana lagi." Dhan bersikap sok bijak.

Ia melepaskan kemeja, menyisakan kaus. Hayan memperhatikannya, mungkin karena masih tak percaya. Padahal beberapa kali Dhan menggunggah fotonya bersama Risya di media sosial, tetapi temannya itu tak pernah meninggalkan komentar atau sekedar memberikan lambang hati. Pantas saja tak tahu.

"Kalau lo nikah sekarang, pasti anak lo bakalan berantem sama adik lo." Hayan kembali berucap, nampaknya lelaki itu sudah percaya. "Jangan nikah sekarang, Dhan, tunggu adik lo gedean dikit."

"Terus, kalau jodoh gue udah ada sekarang, masa iya gue tunda." Ia pikir ayahnya pun akan mengerti soal ini. Meskipun pria itu pernah menyinggung soal pernikahan, tentang umur yang pantas. Ah, itu sudah lama, pasti ayahnya pun telah lupa.

"Iya juga, sih, takutnya si Khanza malah diambil orang." Hayan mengangguk sependapat dengan Dhan.

"Emang gue sama Khanza cocok?" Sebenarnya ini hanya pertanyaan untuk menambah pendapat.

Hayan mengangguk, wajahnya terlihat serius. "Dia bisa imbangi lo yang bodoh amat sama perasaan. Intinya, nggak mungkin lo diemin cewek cantik."

"Lo lagi bahas gue atau bahas sifat asli cowok?" Dhan mendelik. "Ganti baju, lo mau tidur pake kemeja?"

Temannya malah tertawa. "Galak lo, kayak emak-emak."

"Matiin lampu kalau udah selesai ganti baju, gue tidur duluan." Dhan berbaring di kasurnya, membagi bantal ke bagian di mana Hayan akan tidur nanti. "Kalau lo butuh celana, ambil di lemari," tambahnya.

"Lemari yang mana? Kamar lo nggak ada lemarinya."

"Ada pintu di sudut, lo masuk aja ke sana. Lemari yang sebelah kiri pintu, lo buka pintu ke dua. Isinya celana semua," jelas Dhan dengan mata yang sudah tertutup.

Terdengar Hayan yang berdecak kagum. "Gue baru ngeh, lo orang kaya. Punya walk ini closet di dalam kamar." Membuka pintu ruangan yang dimaksud Dhan.

Ia biarkan temannya berekspresi sendiri. Dhan butuh istirahat untuk menyambut pagi dan kenyataan. Malam ini sungguh luar biasa, tak akan ia lupakan. Ditemani Khanza ke pesta pernikahan, suatu kejadian langka yang baru sekali terjadi di hidupnya.

"Dhan, tanyain ke bokap lo, ada lowongan kerja buat arsitek, nggak?"

Kantuk sudah menghampiri, Dhan sempatkan untuk menjawab, "Ada, nanti kalau gue bangun rumah."

"Dih, masih lama."

"Secepatnya. Gue udah nemu calon istri."

VOTE+COMMENT!

Dear Kamu, Asisten Ayahku #3 (END) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang