Hanbin POV
"Dimana kau ingin mengajariku?", tanya Jennie to the point.
"Di kamarku.", jawabku.
"Dan bawa buku - bukumu yang berserakan itu.", lanjutku lalu kulangkahkan kakiku menuju kamarku.
"Yak! Apa yang akan kita lakukan di kamarmu?", seketika aku berhenti sebelum menaiki anak tangga karena teriakannya.
Apa yang Jennie maksud dengan 'apa yang akan kita lakukan dikamarku?', sudah jelas dia bertanya 'dimana aku akan mengajarinya'. Tentu saja untuk mengajarinya belajar, memang apa lagi?
Ah, apa dia sedang berpikir yang tidak - tidak? Ais, ternyata gadisku memiliki pikiran yang kotor."Tentu saja untuk mengajarimu belajar. Sebenarnya apa yang kau pikirkan? Aku tau, kau sedang berpikir yang tidak - tidak kan?", sindirku.
"A ... a ... aniyo. A ... a ... aku ....", ucapnya terbata - bata, membuatku gemas.
"Baiklah, ayo kita lakukan sesuatu yang kau pikirkan. Tapi aku mau malam ini kau harus belajar dengan benar. Baru setelah itu kita lakukan apa yang kau pikirkan.", godaku.
"Yak! Aku tidak mau melakukannya sebelum kita menikah.", protesnya.
Dan aku pun hanya bisa tersenyum mendengar ucapannya.
Hanbin POV End
Jennie POV
"Jennie-ya, kau sangat bodoh. Mengapa kau bisa berpikiran sekotor itu, eoh? Ais, aku sangat malu. Apakah aku pulang saja? Tapi jika Hanbin mengadu pada appa, tentang aku yang tidak mau belajar. Pasti benar kata Hanbin, bahwa appa bisa saja mencarikan guru les untukku. Ais, Hanbin sialan. Dia menjebakku dengan kata - katanya.", rutukku (dalam hati), sambil memunguti buku - bukuku yang berserakan karena kulemparkan padanya tadi.
Lalu aku dengan berat hati berjalan menuju kamar Hanbin.
Dan setelah aku masuk, kamar itu kosong. Dimana dia?
"Hanbin-a.", panggilku, tapi tidak ada jawaban darinya.
Kuedarkan pandanganku disekitar kamar Hanbin, dan ternyata dia berada di balkon kamarnya.
"Yak! Sedang apa kau disini? Kau bilang, kau ingin mengajariku belajar?", tanyaku, tapi dia malah memberikanku jaketnya.
"Untuk apa? Didalam tidak terlalu dingin, dan aku tidak perlu memakai jaket.", kataku lalu hendak masuk ke kamar Hanbin berniat meletakkan buku yang sedari tadi kupegang.
Tapi, tiba - tiba Hanbin mencekal tanganku.
"Wae?",tanyaku.
"Kita belajar disini saja, mungkin dengan angin malam kau bisa sedikit fokus. Tapi, angin malam tidak baik juga, jadi pakailah jaketku.", kata Hanbin lalu menyampirkan jaketnya pada bahuku kemudian dia mengambil alih buku - buku di tanganku untuk di letakkan di meja yang ada di balkon.
"Duduklah, aku ingin mengambil jaket untukku dan membuat hot chocolate dulu.", katanya lalu pergi begitu saja.
Jennie POV End
Author POV
Hanbin telah kembali dengan membawa 2 hot chocolate.
"Ayo kita mulai.", kata Hanbin.
"Hanbin-a, tapi tiba - tiba aku mengantuk.", kata Jennie.
"Yak! Kita bahkan belum memulainya. Ingat eoh, jika kau tidak mau kuajari maka aku akan mengadu pada appamu.", kata Hanbin mengancam Jennie.
"Hanbin-a, entahlah. Setiap aku melihat buku, walau aku belum membacanya aku bisa tiba - tiba merasa mengantuk.", kata Jennie.
"Aku tau kau sedang mengodeku tentang pikiran kotormu tadi kan? Kau mengajakku tidur begitu? Mian Jennie-ya, aku mencintaimu. Jadi, aku tidak akan melakukannya sebelum kita terikat pernikahan. Kau mengerti? Jika kau mengerti, maka cepatlah kita mulai belajar karena hari semakin larut.", kata Hanbin tiba - tiba.
"Mwo? Yak! Aniya, aku tidak memikirkan itu. Ais, aku benar - benar mengantuk. Kali ini saja eoh, aku tidak belajar? Dan jangan adukan pada appa.", kata Jennie lalu meminum hot chocolatenya.
Sedangkan Hanbin sedang berpikir, haruskah dia memihak Jennie kali ini untuk berbohong pada appa Jennie atau tidak.
"Em, tapi benarkah kau tidak akan melakukannya sebelum kita menikah? Jadi kau benar - benar akan menjagaku? Sungguh, Hanbin-a? Jawab aku!", kata Jennie bertubi - tubi.
"Eoh, aku akan berusaha menjagamu. Aku akan menahan keinginanku untuk tidak menyerangmu. Percayalah. Maka dari itu, jangan sekali - kali kau menggodaku. Karena tanpa kau menggodaku pun aku ingin menyerangmu.", kata Hanbin lalu meminum hot chocolatenya.
"Wah, ihatlah. Kau sangat jujur eoh? Mengatakan hal seperti itu di hadapanku, bahwa 'tanpa aku menggodamu, kau ingin menyerangku'. Aku jadi takut padamu.", sindir Jennie lalu bangkit untuk melihat pemandangan kota Seoul di malam hari.
"Kau takut padaku?", tanya Hanbin yang menghampiri Jennie untuk memeluknya dari belakang.
"Hem, kau terlalu jujur.", kata Jennie yang menikmati pelukan Hanbin.
"Jadi, kau suka aku yang melakukannya diam - diam? Baiklah. Tengah malam nanti, aku akan masuk ke kamarmu melalui jendela dan menidurimu.", kata Hanbin.
"Yak! Bukan begitu maksudku.", kata Jennie sambil membalikkan badan dan memukul dada Hanbin.
"Lalu?", tanya Hanbin berniat menggoda Jennie.
"Lupakan! Yang aku mau, kau berbohonglah besok pada appa. Bilang saja kalau malam ini kau mengajariku, dan aku banyak mengerti pelajaran yang kau ajari.", pinta Jennie.
"Kau menyuruhku berbohong?", tanya Hanbin.
"Hem, sekali ini saja. Besok aku janji akan belajar dengan sungguh - sungguh. Eoh? Kumohon, Hanbin-a.", mohon Jennie.
"Baiklah, tapi kau harus memberikanku sesuatu.", kata Hanbin.
"Mwo? Katakan apa yang kau minta, aku janji akan memberikannya.", kata Jennie menatap tepat di mata Hanbin.
Dan saat itu pula telunjuk Hanbin berada di bibir Jennie. Lalu Jennie dengan cepat menyingkirkan tangan Hanbin dari bibirnya.
"Apa maksudmu?", tanya Jennie serius.
"Beri aku kecupan di bibir, maka aku tidak akan mengadu pada appamu.", kata Hanbin lalu tersenyum menyeringai.
"Ais, jinjja? Itu namanya kesempatan dalam kesempitan. Tapi, it's ok karena aku sudah berjanji. Hanya sebuah kecupan kan?", tanya Jennie dan langsung mengecup bibir Hanbin.
Namun, Hanbin langsung menahannya dan malah menciumnya dengan intens.
Author POV End
.
.
TBC.Gimana part 06nya all? 😁
Jangan rame diawal aja ya, dipart-part selanjutnya tolong ramein juga 🙏
Ah iya, jangan lupa vote ya sebagai tanda kalian dukung aku. 🙏🏻
Bagi yang belom follow aku, tolong follow ya. 🙏🏻
Gomawo, all.
KAMU SEDANG MEMBACA
Opportunity in Narrowness
FanfictionMenikah diusia muda, bahkan masih duduk dibangku sekolah. Itu semua karena keinginan mereka, dan didukung oleh orang tua dari pihak sang gadis yang harus pergi meninggalkan putrinya itu. Bagi Kim Hanbin, itu adalah kesempatan dalam kesempitan yang t...