6. Cerita kelam.

4.6K 324 1
                                    

Seorang anak kecil tengah bermain bersama dua saudara laki-lakinya ditemani wanita dewasa yang duduk di ayunan besi tidak jauh dari anak kecil tersebut. Wanita itu tersenyum menatap ketiga putranya yang tengah asik bermain tanpa sedikit menoleh kearahnya.

Senang sekali saat melihat pemandangan seperti itu. Ia berharap hubungan ketiga anaknya akan selamanya seperti ini sampai mereka dewasa nanti.

Tiba tiba suara tangisan salah satu dari anaknya membuat wanita itu bergegas menghampiri putra kecilnya yang baru saja terjatuh dari sepeda.

“Ya ampun sayang kamu gak papa? Ayo bunda gendong aja, kita obatin dulu luka kamu.”

Anak kecil itu kini mulai berhenti menangis. Matanya menatap sang kakak yang masih asik bermain tanpa tahu adiknya baru saja terjatuh. Kenapa kakaknya tidak menghampiri dirinya seperti yang dilakukan sang bunda?

“Kenapa abang Farrel sama abang Fadhil enggak bantuin aku bunda?”

“Kan ada bunda yang bantu kamu. Fathur nggak suka dibantuin sama bunda?”

“Suka.”

“Ya udah kalo gitu ayo kita obatin luka kamu. Mau jalan sendiri atau mau bunda gendong?”

“Fathur bisa jalan sendiri.”

Setelah sampai di teras rumah. Fathur menunggu bundanya yang sedang mengambil kotak obat dari dalam rumah. Anak itu melihat kedua kakaknya masih asik bermain kejar kejaran. Fathur ingat tadi mereka main bertiga.

Namun tiba tiba saja Fadhil mengajak Farrel untuk menemaninya bermain dan membiarkan Fathur bermain sendirian. Dan karena bosan akhirnya dia memilih untuk bermain sepeda. Sialnya anak itu kehilangan keseimbangan sampai membuatnya terjatuh dan tertimpa sepeda yang dinaikinya.

Fathur menatap wajah tenang bundanya yang tengah sibuk mengobati luka kecil di telapak tangannya. Fathur senang karena memiliki bunda yang sangat cantik juga baik.

“Bunda, tadi di sekolah temen aku cerita kalo makanya pergi ninggalin dia.”

“Ninggalin? Ninggalin kemana?”

Fathur menggeleng karena tidak tahu ibu temannya itu pergi kemana.

“Apa nanti bunda juga bakal kayak mamanya temen aku?”

“Ninggalin kamu dan abang abangmu?”

“Iya.”

Fathur bingung saat melihat bundanya tertawa. Anak itu tidak mau jika dia harus ditinggalkan oleh sang ibu. Baginya bunda adalah hal paling berharga dalam hidupnya.

“Bunda enggak akan ninggalin kamu sama abang kamu sayang. Kamu nggak perlu khawatir dengan hal seperti itu.”

Dekapan hangat dari sang ibu membuat Fathur tersenyum senang. Ia berjanji akan menjadi anak yang hebat dan membanggakan bagi kedua orangtuanya. Namun saat mereka masih asik berpelukan, tiba tiba beberapa orang berbaju hitam menghampiri keduanya.

Melihat kedatangan orang asing yang mencurigakan, Farrel dan Fadhil langsung bergegas menghampiri ibu serta adiknya untuk mengetahui siapa orang orang berpakaian hitam itu.

“Wah sepertinya keluarga ini sangat bahagia ya?” tanya salah satu pria yang datang bersama tiga temannya.

“Siapa kalian?”

Pria dewasa itu tidak menggubris pertanyaan yang terlontar kepadanya, ia malah melangkah mendekati wanita yang ada di depannya. Pria itu memperhatikan tiga anak laki-laki yang mengelilingi ibu mereka.

“Apa mereka ini anak anakmu Marisa?”

Marisa—ibu dari tiga anak yang tengah ia peluk itu menatap bingung pada pria tua di depannya. Ia tidak mengenal siapa mereka dan bagaimana bisa mereka mengetahui namanya?


“Bagaimana kalau salah satu anakmu saya bunuh?”

“Kalau kalian berani melakukan itu, saya tidak akan segan segan melaporkan kalian ke polisi!”

“Polisi?” Pria itu tertawa mendengar ucapan Marisa. Ia rasa ibu dari tiga anak ini benar benar bodoh.

Pria itu mengeluarkan sebuah senapan api dari dalam saku jaketnya. Ia menodongkan senapan di tangannya ke salah satu kening dari tiga anak lelaki yang sedang menatapnya.

Fathur merasakan benda itu menempel di keningnya. Ia tidak tahu benda apa itu, yang jelas anak itu merasa ada sensasi dingin dari besi yang menempel di kepalanya. Fathur bisa merasakan tubuh ibunya bergetar dan kini tengah menangis.

Ada apa sebenarnya?

“Jauhkan benda itu dari anak saya! Saya tidak tau siapa kalian? Siapa kalian ini?”

Bukannya menjawab, pria itu justru berbalik badan dan melangkah menuju gerbang di rumah Marisa. Ia berbalik badan saat tiba di depan mobilnya untuk menatap Marisa yang masih melindungi anak anaknya.

Pria itu menarik sudut bibirnya ke atas. Ia membisikkan sesuatu kepada anak buahnya. Dan tepat setelah itu suara tembakan dan jeritan tiga anak laki-laki itu terdengar. Suara tangisan ketiganya mengiringi kepergian pria berjas hitam itu setelah melepaskan tembakan tepat di dada kiri Marisa.

“BUNDA.”

Marisa merasakan sakit yang luar biasa di tubuhnya. Walau seperti itu, ia masih memaksakan untuk memberikan senyumnya pada sang anak. Marisa memperhatikan anaknya satu persatu.

“Fadhil tolong jaga kedua adik kamu ya, jangan tinggalin mereka apapun yang terjadi.” Marisa menggenggam tangan kecil anak anaknya.

“Bunda sayang kalian semua. Bilang sama Papa kalau bunda pergi duluan.”

Tepat setelah itu Fathur melihat mata ibunya perlahan menutup. Deru nafas yang semula tidak teratur kini sudah tidak terdengar lagi. Ia melihat kedua kakaknya tengah menangis. Fathur kecil tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.

FATHUR [ hiatus ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang