Sore ini Fathur menghabiskan waktu luangnya dengan keempat temannya di salah satu cafe yang cukup terkenal. Perkumpulan mereka juga dimaksudkan untuk merayakan tim yang menang taruhan tempo hari saat nobar sepak bola di rumah Fathur.
Cowok itu duduk di sebelah Juli yang sedang menikmati makanannya. Dari lima orang itu hanya Juli yang opininya berbeda. Padahal yang lain sangat yakin jika tim yang Juli pilih tidak akan memenangkan pertandingan. Namun nyatanya keberuntungan sedang berpihak pada Juli.
“Sialan nih kuda, sengaja banget kayaknya mau nguras duit gue!” kesal Janu kepada Juli yang tengah menikmati sepiring lava cake.
“Dia sengaja anjir minta ditraktir di sini biar duit kita abis. Gak tau diri banget emang!” ucap Jaka ikut menimpali kekesalan Janu.
Jika dua temannya kesal bukan main, justru hal itu berbeda dengan Fathur. Bukan masalah besar untuk mentraktir makan teman temannya. Karena uang di ATM cowok itu masih banyak. Sembari mendengarkan perdebatan teman temannya, Fathur menikmati kopi di depannya dengan hikmat.
“Belum juga dua juta ini semua, udah heboh aja lo berdua.”
Janu meletakkan sendok pudingnya dengan kasar lalu menunduk wajah Juli dengan garpu yang ada di piring Jalu. Membuat sang empu menatapnya sesaat.
“Pinjem bentar bro.”
Lalu Janu kembali menatap Juli, disodorkannya garpu itu ke wajah Juli.
“Kalo sampe lo pesen makanan lagi abis ini, awas aja lo ya! Gue bakal ngadu ke emak lo kalo di hp lo ada video tidak mendidik!”
“Iya anjir cepuin aja biar tuh benda keramat di cek sama emaknya.”
“Iye iye gue gak bakal pesen lagi. Awas aja lo berdua Cepu!" ucap Juli kepada dua temannya. Kemudian matanya tak sengaja melihat seseorang yang familiar.
“Eh eh lo pada coba deh liat ke arah parkiran. Itu bukannya si Wella ya? Mantan lo Thur.”
Keempat sahabatnya mengalihkan pandangannya ke objek yang dimaksud oleh Juli. Dan benar, di sana berdiri seorang gadis dengan seorang laki laki yang mungkin dua tahun lebih tua gadis itu.
Juli benar, itu mantannya.
“Waduh lo nyium bau sesuatu gak Jal?” tanya Janu kepada Jalu.
“Bau apaan? Lo kentut?”
“Sialan, kagak lah anjir!”
“Bau bau mantan yang gamon njir, iya kan?” ucap Juli yang seakan mengerti maksud Janu.
“NAH IYA SAT ITU MAKSUD GUE!”
Fathur menatap tajam ke arah Janu yang barusan bersuara. Bahkan pengunjung yang lain pun ikut menatap cowok itu dengan berbisik pelan. Namun yang ditatap hanya memasang wajah tengil.
“Sedikitpun gue nggak ada rasa sama dia,” ujar Fathur dengan tenang.
“Masa sih? Tapi kayaknya tebakan temen lo bener deh.”
Tiba tiba gadis yang diperkirakan mantan dari Fathur itu sudah berdiri di samping meja Fathur dan teman temannya. Mereka berlima menatap gadis itu dengan tatapan masing-masing.
“Ngaco lo!” jawab Fathur.
Gadis itu tertawa pelan. Tangannya ia gunakan untuk menepuk pelan bahu Fathur. Kebiasaan cewe kalo ketawa suka mukul.
“Ya udah sih biasa aja dong mukanya, gue juga bercanda kali.”
Gadis itu lalu melirik ke cowok yang tadi datang bersamanya.
“Oh iya kenalin ini Rico, pacar gue. Nah Riko ini Fathur, mantan aku.”
Fathur melirik cowok tinggi yang ada di sebelah Wella. Setelah menegakkan tubuhnya, Fathur menjulurkan tangan ke arah Riko. Bermaksud berjabat tangan.
“Fathur.”
“Rico.”
Lalu keduanya sama sama diam. Berbeda dengan reaksi dari keempat temannya. Mereka saling berbisik untuk menyuarakan apa yang ingin mereka katakan.
“Bener ya emang kalo udah jadi mantan malah nambah cantik dari masa pacaran. Penyesalan emang selalu di akhir ya Jan,” kata Juli.
“Yoi bro, apa lagi ditinggal pas lagi sayang sayangnya. Gila, ini namanya sick but not blood.”
“Benerin dulu bahasa Inggris lo,” ucap Jalu. Entah kenapa cowok itu ikut memelankan suaranya.
“Shut diem, ini kita lagi bahas mantannya Fathur. Bukan saatnya lo ngomentarin grammar gue.”
“Ya udah gue sama Rico ke sana ya, bye guys.”
Setelah kepergian Wella, Fathur kembali mendudukkan dirinya lagi. Cowok itu menatap Juli yang masih memperhatikan Wella dan Rico yang duduk tidak jauh dari mereka.
“Gue jadi pengen punya ayang,” ujarnya lesu.
“Emang ada yang mau sama lo?” tanya Fathur.
“Dih anjir mulutnya!”
Juli lantas menoleh ke arah Jalu yang duduk di depannya. “Jal lo tatap mata gue, jujur gue ganteng apa kagak?”
“Kagak.”
“Jak gue jelek?”
Jaka meletakkan tangan di ujung dagunya. Bergaya seolah tengah memikirkan hal paling berat di dunia.
“Gak jelek jelek amat sih Jul. Mendingan lo daripada Janu.”
“Bangke lo ye!” ujar Janu kepada Jaka yang dibalas tawa cowok itu.
Juli tidak memperdulikan teman temannya. Cowok itu menopang dagu dengan raut wajah yang sedih. Pura pura sedih sih lebih tepatnya.
“Apa gue minta dijodohin aja ya ke nyokap. Siapa tau dapet bini modelan Isyana Sarasvati.”
“Si Ajeng aja belum tentu mau sama lo, apalagi yang modelan Isyana.”
“Setuju gue sama lo Jan.”
“Sialan lo berdua,” balas Juli.
Fathur jengah dan merasa mereka sudah cukup lama di tempat ini. Cowok itu mengambil kunci mobilnya yang terletak di meja, lalu ia beranjak dari duduknya.
“Gue cabut duluan.”
“Lah mau kemana? Kita kan belum kelar.”
Juli menahan ujung jaket Fathur yang hendak pergi. “Lo mau bunuh diri ya karena nggak kuat ngeliat Wella sama pacar barunya?”
“Astaghfirullah Fathur nggak boleh, dosa itu. Nyebut Thur nyebut.”
Fathur menatap jengah tiga temannya yang sedikit gila. Beberapa pengunjung lain yang menatap dirinya membuat Fathur ingin menampar wajah Juli, Janu serta Jaka menggunakan buku menu di depannya.
“Ngaco banget sih lo semua, gue balik ke rumah.”
“Nah gitu dong ngomong yang jelas.” Juli lalu mengemasi barangnya. “Kalo gitu gue juga balik deh, udah kenyang juga perut gue.”
“Ayo deh balik aja semua, pegel juga pantat gue duduk doang dari tadi.”
Setelah menyelesaikan pembayaran. Kelima remaja itu berjalan beriringan ke parkiran motor. Mereka menyusuri jalanan dengan pemandangan langit jingga yang indah.
—
Ngiha 💃🏻💃🏻💃🏻