Suara kicauan burung yang berada di balkon kamar menyambut pagi seorang gadis yang tengah bersiap dengan seragam sekolahnya. Ini hari pertamanya bersekolah di sekolah baru setelah pindah dari sekolah lamanya yang berada di Bandung.
Gadis itu berdiri di depan cermin yang menampilkan seluruh tubuhnya. Ia membenarkan letak dasi yang sedikit miring dan menata rambutnya.
“Sip gue udah cantik.”
Setelah merasa semuanya sudah selesai, ia pun segera turun untuk menemui kedua orang tuanya. Bahkan sejak tadi sang ibu sudah meneriaki dirinya untuk segera turun ke bawah. Dan saat tiba di ruang makan, ia melihat ayahnya tengah membaca sebuah koran pagi harian.
“Selamat pagi mama dan papa ku yang baik hati.”
“Pagi sayang, gimana udah siap untuk hari ini?”
Gadis itu menatap ibunya yang sedang menuangkan susu ke gelasnya. Walau sudah hampir berkepala empat, ibunya masih terlihat cantik dan awet muda.
“Siap gak siap sih sebenarnya. Lagian aku udah biasa ikut kalian pindah sana pindah sini.”
Setelah sarapannya selesai, gadis itu melangkahkan kakinya menuju teras depan untuk menunggu ayahnya yang akan mengantarkan dirinya. Sembari menunggu sang ayah ia menaikkan ponselnya untuk mencegah rasa bosan.
“Ayo berangkat, nanti kamu telat.”
“Baru juga buka hp.”
Gadis itu mengikuti langkah ayahnya menuju mobil putih yang sudah terparkir di halaman rumahnya. Jalanannya lumayan ramai, banyak anak sekolahan dan para pekerja ojek online di sekitar mobilnya.
Setelah hampir sepuluh menit menempuh perjalanan, akhirnya mobil ayahnya berhenti tepat di depan gerbang sekolah. Gadis itu segera turun dan berpamitan pada sang ayah. Tidak lupa meminta uang jajan tentunya.
Dengan langkah santai gadis itu masuk kedalam halaman sekolah yang kelihatannya lebih besar dari sekolah lamanya. Banyak pepohonan di setiap sudut sekolah ini. Juga ada taman kecil di depan kelas kelasnya. Saat tengah asik mengagumi sekolah barunya, tidak sengaja mata gadis menatap seorang perempuan yang sepertinya tengah kebingungan mencari sesuatu.
Anak baru juga kali ya?
Dia berjalan mendekat ke arah gadis itu. Daripada penasaran lebih baik ia bertanya langsung ke si gadis yang tidak jauh dari tempatnya saat ini.
“Permisi,” ucapnya sopan.
“Apaan? Mau nanya apa lo sama gue? Denger nih sebelum lo nanya banyak hal, gue gak tau apa-apa! Gue anak baru jadi gak usah nanya nanya!”
Gadis itu menatap perempuan di hadapannya dengan sedikit terkejut. Padahal ia belum mengeluarkan pertanyaannya tapi orang ini udah menjawabnya terlebih dahulu.
“Dari pada lo bengong kayak gitu mending lo temenin gue nyari ruang kepala sekolah deh.”
“Nama lo Biru?”
Gadis itu terkejut saat mendengar namanya di sebut. Ia menatap heran pada perempuan di depannya.
“Kok tau?”
“Tuh ada di nametag lo.”
Benar juga, kenapa ia sampai terkejut seperti itu. Jelas saja gadis itu bisa mengetahui namanya karena ada nametag yang menggantung di atas saku kirinya. Selanjutnya ia melakukan hal yang sama, Biru menatap saku kiri gadis di depannya untuk mengetahui siapa nama gadis itu. Namun ia tidak menemukan sebuah nametag tertera di sana.
“Nama lo?” tanya Biru
“Vanilla.”
“Lo gak pake nametag?”
“Aduh ini bukan saatnya bahas itu, udah deh ayo temenin gue nyari ruang kepsek!”
Mereka mulai mencari dimana ruangan kepala sekolah berada. Namun sudah hampir sepuluh menitan keduanya belum juga sampai di tujuan mereka. Karena sudah sangat kelelahan akhirnya Vanilla memutuskan untuk pergi ke kantin saja daripada melanjutkan aksi pencariannya. Vanilla tentu saja mengajak Biru untuk ikut bersamanya ke kantin sekolah.
Mereka memilih duduk di salah satu kursi yang terletak di ujung belakang. Kedua gadis itu hanya membeli beberapa cemilan untuk menemani istirahat mereka.
“Kok lo tau letak kantin di sini Van?”
“Feeling aja sih.”
“Lo gak bisa nemuin ruang kepsek pake feeling lo?”
Vanilla berdecak malas. “Gak bisa dan gak mau!”
Biru membuka segel botol minuman yang tadi ia beli. Ia ingin berniat kembali mencari ruang kepala sekolah setelah ini.
“Lo murid baru?” tanya Vanilla.
“Iya, gue pindah dari Bandung.”
“Gue juga murid baru.”
Keduanya larut dalam obrolan, banyak hal yang mereka bicarakan. Biru sempat mengira kalau Vanilla itu sosok gadis yang sombong dan akan sulit diajak berteman. Namun ternyata dugaannya salah, Vanilla tipikal orang yang asik dan bisa membuat lawan bicaranya merasa nyaman.
Setelah hampir lima belas menit mereka di kantin, akhirnya Biru dan Vanilla kembali melanjutkan perjalanannya mencari ruang kepala sekolah. Dan berkat seorang murid perempuan akhirnya mereka sampai pada ruangan yang sedari tadi mereka cari. Wajar saja tidak ketemu, Biru dan Vanilla mencari ke semua sudut lantai bawah. Tapi nyatanya ruangan itu berada di lantai atas.
“Ayo masuk, gue yakin kita sekelas.”
—