11. Drama keluarga Fathur

4.1K 287 0
                                    

Di sabtu pagi yang cerah ini terlihat seorang anak laki-laki yang masih menikmati tidurnya dengan nyaman. Bahkan suara bel serta gedoran pintu dari arah depan tidak menggangu tidur seorang Fathur.

“Nih orangnya tidur apa mati sih anjir? Gak bangun bangun!”

“Lo telpon coba Jan.”

“Anjir kita aja udah teriak teriak sampe di liatin warga dia masih kagak bangun apalagi ditelpon.”

“Ya terus kita gimana masuknya ini? Gak mungkin kan ini pintu kita dobrak.”

Janu dan Juli masih saja sibuk memperdebatkan Fathur yang masih belum membukakan pintu untuk mereka. Rencana mereka ingin menghabiskan weekend ini di rumah Fathur yang seperti surga bagi anak muda.

Lelah berdebat dengan Janu, Juli memutuskan untuk pergi ke halaman belakang rumah Fathur. Cowok itu berniat duduk di gazebo kayu dekat kolam renang. Namun matanya tidak sengaja menemukan sebuah tangga lipat yang terletak dekat gazebo. Juli mendapatkan sebuah ide cemerlang dengan tangga itu.

“Mau jadi tukang lo bawa bawa tangga?” tanya Janu yang merasa heran melihat tingkah laku temannya.

“Diem deh anjir, mendingan bantuin gue bawa nih tangga ke balkon kamarnya Fathur.”

Meskipun bingung Janu tetap menuruti apa yang Juli katakan. Jaka dan Jalu mengikuti mereka dari belakang. Setelah memastikan tangganya aman, Juli langsung memanjat tangga tersebut agar bisa mencapai kamar Fathur.

Juli hampir saja terjatuh jika tangannya tidak segera memegang besi pembatas yang ada di depannya. Cowok itu menatap ke bawah dengan kesal karena Janu yang baru saja menggoyangkan tangga yang sedang ia pihak.

Kurang ajar.

Setelah sampai di balkon kamar Fathur dengan selamat, cowok itu mendekat ke arah pintu kaca yang tertutup dengan gorden putih transparan. Bisa ia lihat Fathur yang sedang tidur tengkurap dan tidak terusik dengan suara tv yang masih menyala entah dari kapan.

“Bener bener nih anak. Untung aja ini pintu gak dikunci.”

Setelah Juli berhasil memasuki kamar Fathur lewat balkon, akhirnya teman temannya yang lain pun sekarang sudah berada di dalam rumah. Mereka berempat duduk di depan televisi berukuran besar sembari menguras isi kulkas Fathur. Bahkan tuan rumahnya sengaja tidak mereka bangunkan.

Bunyi bel tiba tiba membuat keempat lelaki itu saling bertatapan. Karena penasaran akhirnya Janu lah yang melangkahkan kakinya menuju pintu utama. Tumben sekali Fathur kedatangan tamu di hari weekend seperti ini.

“Eh om Ferry, pagi om.”

Raut wajah terkejut itu tak dapat disembunyikan oleh Janu. Ferry adalah ayah dari Fathur. Pria itu menatap Janu dengan datar. Tidak menjawab sapaan dari teman anaknya ini.

“Fathur nya ada nak?” tanya seorang wanita dewasa yang berdiri di sebelah ayahnya Fathur.

“Ada tante, mari masuk dulu.”

Janu mempersilahkan tamu Fathur untuk menunggu di ruang tamu.

“Saya permisi panggil Fathur dulu ya om, tante. Sekalian saya mau buat minum, om sama tante mau minum apa?”

“Apa saja asal jangan air keran,” jawab Ferry.

Dengan langkah seperti orang kesetanan, Janu pergi ke kamar Fathur untuk membangunkan cowok itu. Sesampainya di sana, Janu langsung menarik kaki Fathur agar cowok itu terbangun.

Dan berhasil.

Fathur menatap Janu dengan pandangannya yang belum jelas. Cowok itu mengucek mata sebentar untuk menghilangkan rasa kantuknya yang masih menerjang.

“Apaan sih?”

“Bokap lo dateng... sama bininya.”

“Ngapain dia kesini?”

“Ya buat nemuin lo lah anjir, yakali om Ferry
ke sini nyari gue. Buruan lo ke bawah, gue mau bikin minum buat mereka.”

Setelah merasa nyawanya telah terkumpul semua, Fathur turun dari ranjangnya dan pergi keluar dari kamar. Penampilannya masih acak-acakan, bahkan cowok itu bertelanjang dada.

Sesampainya di ruang tamu, Fathur mendudukkan dirinya di singel sofa tanpa memperdulikan tatapan orang di ruangan itu kepada dirinya.

“Masih inget rumah ini? Kirain udah lupa.”

“Gak mungkin Papa lupa sama anak Papa yang satu ini.”

Ferry menatap putra bungsunya dengan rasa rindu yang besar di dalam hatinya. Anak kecil yang dulu menangis karena di tinggal sang ibu ke pasar kini sudah tumbuh menjadi remaja laki-laki yang tampan. Ia menyesal karena tidak bisa menyaksikan pertumbuhan anak bungsunya.

“Sampai kapan kita kaya gini terus Thur? Papa kangen sama kamu.”

“Aku gak butuh itu Pah! Aku cuma mau bunda. Sampai kapanpun aku gak akan bisa maafin Papa karna Papa yang buat bunda pergi.”

Fathur menggeser pandangannya ke sebelah sang ayah. Ia tahu wanita itu. Wanita yang sekarang berstatus sebagai istri ayahnya dan menjadi ibu sambung untuk ia dan kedua kakaknya.

“Lain kali kalau ke sini jangan bawa orang lain.”

Setelah mengatakan hal itu Fathur berdiri dari duduknya dan pergi meninggalkan ruang tamu. Setiap menatap wajah wanita itu Fathur merasa hatinya berdenyut keras. Bayangkan wajah sang bunda yang merintih kesakitan kembali berputar di kepalanya.

FATHUR [ hiatus ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang