“Buset ini kelas apa neraka anjir? Panas banget gila!”
Keluhan itu keluar dari mulut Tobi, siswa laki-laki yang tengah mengipasi wajahnya dengan buku. siang ini ada pemadaman listrik di daerah sekitar sekolahan mereka. Semua elektronik yang ada di kelas XII IPA 2 menjadi tidak berfungsi sementara.
Kalau anak anak cowok pada heboh kepanasan, lain halnya dengan murid perempuan. Sebagian dari mereka memiliki kipas angin mini yang bisa hidup hanya dengan baterai dan power bank.
“Susi pinjem kipas lo dong.”
“Ogah! Gue aja lagi kepanasan gini.”
“Gue doain abis ini kipas lo rusak.”
Susi menatap benda di tangannya yang tiba-tiba saja mati. Gadis itu lantas menatap tajam cowok yang sedang duduk lesehan di bawah papan tulis.
“JULI KIPAS GUE BENERAN RUSAK ANJIR!”
“Doa gue terkabul berarti.”
“Buruan doa lagi biar kipas gue bisa idup! Ntar kalo udah idup bakal gue pinjemin ke lo.”
“Gak dulu deh, thank you.”
“Sialan lo!!”
“Kalian berdua kalo gue liat liat kayaknya cocok deh.”
Juli dan Susi segera menoleh kearah Jaka yang duduk di atas mejanya. Susi langsung menunjukkan ekspresi wajah geli dan berpura-pura ingin muntah. Sementara Juli hanya diam saja sembari sibuk mengipas wajahnya. Biarlah apa yang orang lain katakan, saat ini ia tengah kepanasan.
Jujur saja Fathur juga merasakan hal yang sama seperti teman temannya. Hawa panas di kelasnya membuat cowok itu melepaskan kemeja putih yang ia kenakan. Untung saja di dalamnya Fathur menggunakan kaos hitam polos yang membuat tubuh atasnya masih tertutup dan aman dari pandangan penuh minat dari beberapa anak perempuan di kelasnya.
“Panasnya!”
Biru mengipas wajahnya dengan sampul buku. Matanya melirik sekilas Fathur yang mengibas kaos bagian atasnya. Dengan sedikit canggung dan takut takut, Biru memberikan sampul buku di tangannya kepada Fathur. Membuat cowok itu menoleh ke arah Biru dengan satu alis terangkat.
Ganteng banget pacar orang!
Fathur masih terus menatap Biru tanpa bersuara, cowok itu menatap tepat di mata Biru yang indah. Seolah tersihir, Biru tidak dapat mengeluarkan suara sedikitpun. Gadis itu hanyut dalam mata elang cowok di sampingnya.
Mata coklat itu membuat Biru berdiam. Niat awalnya ingin memberikan sampul buku tiba-tiba diurungkan karena sepertinya Fathur tidak suka dengan tindakannya barusan. Biru lupa kalau Fathur lah satu satunya manusia yang sulit ia ajak berteman di kelas ini.
Biru kembali menarik tangannya. Gadis itu membenarkan letak kursi sebagai alasan agar kontak matanya dengan Fathur terputus. Baiklah Biru tidak akan berniat berkomunikasi dengan Fathur setelah ini. Apapun yang terjadi pokoknya jangan terlibat dengan cowok itu.
“Biru.”
Gadis berambut panjang yang bagian bawahnya dicurly itu menoleh ke belakang. Menatap Jaka yang duduk di sebelah Jalu.
“Kenapa Jak?”
“Ngobrol dong sini, daripada lo diem aja ntar kesambet.”
“Siang gini mana ada setan.”
“Dih kata siapa? Buktinya itu ada setan di samping sama di depan gue.”
Setan yang dimaksud Jaka adalah Fathur yang duduk di depan dan Jalu di sampingnya. Dua cowok itu diam saja tanpa memperdulikan ucapan Jaka. Benar benar manusia kaku.
Biru hanya tersenyum menanggapi candaan Jaka. Hampir satu minggu berteman dengan cowok itu, Biru sedikit mulai paham dengan love hate relationship antara Jaka dan empat temannya.
“Btw kemaren lo ke kantin sama siapa? Gue gak pernah liat cewek yg bareng lo deh”
“Vanilla, anak IPS 3. Dia juga anak baru, sama kayak gue.”
“Kalian temenan dari kapan?”
“Kepo lo.”
Bukan Biru yang menjawab, melainkan Jalu. Cowok itu diam diam menyimak pembicaraan Jaka dan Biru sambil bermain ponsel.
“Paan sih anjir nyaut aja. Lo tuh gak diajak!”
“Bacot lo.”
Jaka kembali menatap Biru, cowok itu mengabaikan Jalu yang masih tenang bermain ponsel. “Harap maklum ya, Jalu kalo lagi mood ngomong emang suka reseh.”
“Jalu jarang ngomong ya?”
“Iya bener. Nih orang sama kaya cowok yang duduk disebelah lo. Mereka berdua kalo bareng pasti ngobrol juga bisa ke itung jari. Irit ngomong biar keren dimata cewek cewek.”
“Keren kagak mirip ijat iya,” saut Juli dari depan sana.
Biru sontak menoleh pada cowok itu. Menurutnya jarak meja Jaka dan posisi Juli sekarang lumayan jauh, dan suara Jaka pun tidak besar saat berbicara tadi. Lalu bagaimana Juli bisa mendengarkan obrolan mereka?