Suara bel yang berbunyi membuat tidur seorang laki-laki tergantung. Janu yang kebetulan tidur di sofa ruang tamu menutup telinganya dengan bantal sofa karena berisik suara bel.
Janu membuka matanya dengan kesal, cowok itu memperhatikan pintu hitam yang menjulang tinggi di depannya. Rasanya Janu ingin melempar siapapun orang yang ada di balik pintu itu dan memaki makinya.
“Sabar dong anj— eh tante.”
Kata kata mutiara yang hampir keluar dari bibirnya lantas terhenti saat melihat ibu sambung Fathur berdiri di hadapannya.
“Maaf tante, kirain tadi temen saya. Mari masuk tan.”
“Iya gak apa-apa kok. Tante gak bisa lama-lama di sini, sebenarnya tante mau nitipin anak tante di sini. Apa boleh?”
Janu menggaruk belakang kepalanya, “Di rumah tante gak ada orang emangnya?”
“Enggak ada nak, tante minta tolong sebentar aja kok.”
“Duh gimana ya, bukannya gak mau tan. Tapi tante tau lah kan yang punya rumah si Fathur bukan saya.”
Raut wajah wanita di depannya seketika berubah sedih. Membuat hati Janu jadi tak tega melihatnya, namun mau bagaimana lagi ia juga tidak tahu harus menolak atau menerima permintaan ibu tirinya Fathur ini.
“Ya udah deh tante gak papa titip di sini aja. Nanti tentang Fathur biar saya yang urus.”
------
Janu membawa kedua anak asuhannya ke dapur untuk di ajak sarapan bersama. Di sana ternyata sudah ada Fathur dan Jalu yang sedang merokok ditemani dua gelas kopi hitam.
“Abang!”
Teriakan seorang anak kecil yang datang bersama Janu membuat dua cowok itu menoleh. Fathur menatap tak senang pada bocah perempuan yang kini tengah tersenyum kepadanya.
“Ngapain lo kesini?” tanya Fathur.
“Tadi mama yang anterin kita ke sini.”
Fathur berdiri dari duduknya sambil menenteng gelas kopi di tangannya. Cowok itu pergi ke ruang tengah melewati gadis kecil yang masih menatapnya dengan mata berbinar. Ia memilih menonton tv daripada meladeni dua bocah yang dibawa Janu tadi.
Namun ternyata dua anak kecil itu mengikuti dirinya sampai di ruang tengah. Bahkan keduanya duduk di sisi kanan dan kiri Fathur. Menghimpit cowok itu agar tidak bisa melarikan diri lagi.
“Abang udah makan?” tanya Fahri, anak laki-laki yang duduk di sebelah kirinya.
“Kepo lo!”
“Kepo itu apa sih bang?Temen temen di sekolah aku suka bilang kepo ke aku setiap kali aku nanya sesuatu. Abang tau artinya kepo?”
Fathur menatap anak perempuan yang berusia lima tahun di sebelah kanannya.
“Kepo itu kayak lo barusan.”
“Kayak Fani?” tanyanya kepada sang kakak sembari memiringkan kepalanya ke samping.
Jujur saja itu sangat menggemaskan di mata Fathur. Pipi Fani yang bulat dengan dua pita kupu-kupu di kepalanya semakin menambah kesan imut pada gadis kecil itu.
“Iya kayak lo.”
“Kata mama Fani itu cantik. Kalo kepo sama kayak Fani berarti kepo itu artinya cantik bang?”
“Iya.”
Fani tersenyum senang. Anak itu bertepuk tangan beberapa kali bahkan sampai lompat di atas sofa yang ia duduki.
“Berarti kalau ada yang bilang Fani kepo, artinya mereka bilang kalau Fani cantik? Iya Abang?”
“Iya,” jawab Fathur sekenanya.
—