Setelah hampir dua mata pelajaran berlangsung, kini waktu istirahat telah tiba. Kantin adalah tujuan utama semua murid tentunya. Tak terkecuali dengan Fathur dan empat temannya.
“Halo mbak Denok cantik,” sapa Janu pada salah satu pedagang kantin yang berjualan aneka gorengan dan jus buah.
Janu beralasan pada temannya agar dia saja yang memesan makanan dan menyuruh teman temannya mencari tempat duduk. Niat lainnya tentu saja untuk menemui mbak Denok yang usianya terpaut sepuluh tahun dengan dirinya.
“Halo Janu, mau pesan di sini?”
“Iya dong. Kan jualan mbak Denok makanan favorit saya yang wajib ada pas istirahat.”
“Saya udah pisahin satu piring buat kamu kok biar nanti gak kehabisan.”
Mata Janu membulat saat mendengar ucapan mbak Denok. Cowok itu semakin senang kegirangan.
“Seriusan mbak?”
“Iya Janu, serius.”
“Anjir baper gue ya Allah.”
Janu berdeham sekali untuk menghilangkan kegugupannya. Cowok itu lalu menyerahkan uang sepuluh ribu ke arah mbak Denok untuk membayar makanannya.
“Kalo gitu saya ke sana dulu ya mbak, makasih calon istri.”
Mbak Denok tertawa pelan mendengar ucapan Janu. Remaja laki-laki di depannya ini memang sering kali menggoda dirinya dengan kata 'istri' yang sering Janu lontarkan. Namun Mbak Denok tidak pernah menganggap itu hal yang serius, ia tahu Janu hanya bercanda.
—
“Lah anjir kok cuma bawa gorengan sepiring?” tanya Jaka saat melihat Janu yang baru bergabung dengan teman temannya yang lain.
Masih dengan tersenyum senang Janu meletakkan piringnya dengan hati hati. Cowok itu tidak memperdulikan berbagai macam tatapan dari temannya. Janu justru dengan tenang mulai memakan gorengan yang ia beli dari mbak Denok.
“Tolol ditanya bukannya jawab malah senyum senyum sendiri. Gila lo?” ucap Juli, pedas.
“Apaan sih anjir?”
“Kenapa lo cuma bawa ini doang? Makanan kita mana?”
“Makanan apaan?”
Juli memukul kepala Janu dengan pulpen yang tersimpan di sakunya. Cowok itu hampir lima menit menunggu bakso yang ia nantikan namun ternyata Janu tidak membelikannya.
“Oh iya iya sorry lupa gue,” ujar Janu setelah sadar akan kesalahannya.
“Bangsat.”
“Heh Jalu mulut lo. Gak boleh ya ngomong kasar! mending lo semua makan ini aja nih, spesial dari mbak Denok cantik calon bini gue.”
“Serah lo dah sarap, emosi gue tinggal satu bumi sama lo!”
Jujur saja Jaka ingin memjepretkan karet gelang di tangannya ke kening Janu, namun ia tidak tega. Pada akhirnya ia memilih untuk mengambil bakwan jagung dari piring Janu.
“Pesen Jul,” ujar Fathur menyerahkan uang seratus ribu kepada Juli.
“Gue yang pesen?”
“Iya.”
“Sendiri doang? Gila kali lo pada!”
“Gue males.”
Juli menatap Fathur dengan tajam. Bisa bisanya cowok itu menyuruhnya membawa empat mangkuk bakso sendirian. Jika tidak ada uang jalan dari Fathur tentu saja Juli tidak mau.
“Ayo Jak temenin gue, ntar bagi dua sisanya.”
Setelah kedua temannya pergi. Fathur mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Terdapat notifikasi dari salah satu aplikasi berwarna hijau.
Vindy
jangan lupa makan ya Thur
gue duduk di meja deket pintu masuk kalo lo mau tau
hehe <3Fathur tidak membalas pesan itu. Ia bingung harus dengan cara apalagi agar Vindy berhenti mengejarnya. Bahkan kata kata seperti tadi pagi saja masih belum bisa menghentikan gadis itu. Padahal menurutnya kalimatnya itu cukup menyakitkan. Tapi memang dasarnya Vindy yang keras kepala dan sulit dilarang.
—
![](https://img.wattpad.com/cover/183550466-288-k345888.jpg)