1-Aila Valencia Raiz

334 10 0
                                    

Karena tidak ada yang lebih baik
Dari sebuah rumah tempat kita menetap
Sekalipun kita merasa sendiri

-----

Palembang, Januari 2010

Hujan mengguyur Kota Palembang dengan tanpa ampun. Ia seakan enggan berlalu, karena tahu ada yang butuh seorang teman. Bukan teman sebagai pasangan interaksi, melainkan teman untuk turut merasakan.

Dan dia di sana. Di bawah gelapnya langit, meringkuk seorang diri. Membiarkan tumpahan air mata langit merembes ke tubuh mungilnya.

"Aila! Sembunyi di mana kamu!?"

Gadis itu semakin merapatkan tubuhnya agar tak terlihat oleh siapapun.

"Baik, kalau kamu memang maunya tinggal di sini. Rama ikut Papa. Kalian tidak akan pernah bisa bertemu lagi!"

****

Palembang, 4 Agustus 2018

Angin berhembus menerpa wajah seorang gadis yang sedang duduk di balkon kamarnya. Matanya terpejam, menikmati.

Sabtu.

Hari ini sebenarnya waktunya ia untuk membantu ibunya di toko kue karena memang ia libur sekolah. Tetapi, badannya sedikit demam. Ibunya tidak mengizinkannya untuk ikut. Ia harus banyak istirahat di rumah.

"Aila." Panggil seorang wanita tua tetapi rambutnya tak kunjung memutih.

"Ya Nek?"

"Makan dulu gih. Udah Nenek masakin bubur kacang hijau kesukaan kamu." Ujar wanita tua bernama Fatma itu sambil meletakkan nampan berisi semangkuk bubur kacang hijau dan segelas susu.

"Harusnya Nenek gak usah repot-repot bawa makannya ke sini. Aila kan bisa ambil sendiri di bawah."

Neneknya menghela napas. "Kalau gak gini kamu gak bakal mau makan. Kebiasaan kalau lagi sakit." Ujarnya sambil menarik hidung cucunya pelan.

Aila tersenyum. "Makasih Nenek."

"Iya. Sekarang makan ya. Jangan duduk di balkon. Anginnya kencang, nanti kamu tambah sakit."

"Siap."

"Selesai makan langsung minum obat. Terus istirahat."

Kalau dipikir-pikir Neneknya ini lebih cerewet daripada Mamanya sendiri. Namun, cerewetnya Nenek pasti untuk kebaikan cucunya.

Ting Tong

"Biar Aila yang bukain pintunya, Nek," ucap Aila sambil beranjak dari kursinya.

"Nenek aja. Kamu habiskan makannya."

Nenek Fatma pun keluar dari kamar Aila.

Aila penasaran, tidak biasanya ada tamu yang datang di jam segini. Ia melahap makanannya dengan cepat. Setelah habis, ia mengintip dari balik pintu kamarnya yang secara langsung dapat melihat pintu utama.

"Polisi?" Gumamnya.

Ia tidak dapat mendengar dengan jelas apa yang polisi itu katakan kepada Neneknya.

Namun, Aila semakin yakin ada yang tidak beres ketika ia melihat Neneknya jatuh pingsan.

Dengan terburu-buru, ia menuruni tangga dan menghampiri Neneknya yang terkulai lemas di lantai.

"Nenek!"

"Ada apa ini? Kenapa Nenek saya pingsan?" Tanyanya pada dua orang polisi itu.

"Siapa yang datang Aila?" Tanya Kakeknya yang juga ikut penasaran.

"Loh, Nenek kamu kenapa pingsan!?" Tanya Kakeknya khawatir.

Aila menggeleng.

"Begini, Pak. Saya melaporkan bahwa terjadi kecelakaan lalu lintas di Jalan Soedirman yang menimpa satu unit mobil sedan berplat BG 1655 YA dan satu truk besar. Setelah kami lakukan evakuasi, kami menemukan identitas korban pengendara sedan ini bernama Anggira Saraswati usia 43 tahun."

Jantung Aila langsung berdegup cepat tidak keruan.

"Korban saat ini sedang dilarikan ke Rumah Sakit Panti Bhaktiningsih."

"Gak! Bapak pasti salah orang!"

"Namun, berdasarkan kartu identitas korban, alamatnya di sini." Ujar polisi itu sambil menunjukkan sebuah KTP.

Saat itu juga tubuh Aila terasa lemas, bahkan kakinya tidak mampu menopang tubuhnya. Hingga ia pun jatuh terduduk di lantai.

****

"Harusnya aku tadi ikut Mama aja, Nek. Biar aku yang nyetirin mobilnya. Mama sering ga fokus kalau nyetir," ujar Aila hampir tidak mengeluarkan suara. Tatapannya kosong, memandang lorong rumah sakit yang kian sepi.

"Ini semua salah aku. Erggg dasar Aila bodoh!"

"Hey, Aila. Dengerin Nenek. Ini semua musibah, kamu gak bisa salahin diri kamu ataupun orang lain. Lagian kamu kan lagi sakit, sayang." Ujar Nenek Fatma menenangkan cucu perempuannya itu.

"Sekarang kita makan dulu yuk di kantin sambil nunggu hasil pemeriksaan dokter."

"Gak mau, Nek. Aku mau di sini aja nungguin Mama."

"Tapi perut kamu perlu diisi, Aila. Jangan bandel deh."

"Udah, gak papa Nek. Nenek sama Kakek aja yang makan di kantin. Aila gak lapar sama sekali kok."

Nenek Fatma menoleh ke arah suaminya.

"Ya udah, kalau kamu ngerasa lapar langsung nyusul ke kantin ya."

Aila mengangguk. "Iya, Nek."

Sepeninggalan Nenek dan Kakeknya, Aila memandang pintu yang memiliki celah kaca untuk melihat keadaan di dalam ruangan itu. Bagaimana keadaan Mamanya? Pertanyaan itu masih belum terjawabkan sampai dokter membuka pintu itu.

Ceklek.

Perhatian Aila langsung tertuju pada dokter yang baru saja membuka pintu.

"Dengan keluarga Anggira Saraswati?"

"Ya, Dok. Saya anaknya." Jawab Aila seraya mendekati dokter perempuan tersebut.

"Beruntung ibu Anda segera dilarikan ke rumah sakit, sehingga beliau selamat. Setelah ini pasien akan dipindahkan di ruang rawat."

"Alhamdulillah." Ucap Aila lega.

"Namun..."

"Ada apa, Dok?"

"Pasien koma. Kami tidak bisa memprediksi kapan pasien akan sadar."

Aila seperti dibawa terbang, namun dijatuhkan kembali hingga ke dasar jurang yang paling dalam.

Tuhan...

Kenapa jadi begini?

Sampai kapan Mama akan sadar?

Mama...

Aku akan merindukanmu...

Selalu...

------

Bersambung...

A I L A🍃 [New Version]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang