Hari ini terlalu panas buat gue bagi-bagi brosur didepan toko, tapi mau gimana lagi? Gue harus kuat.
Hijab dan pakaian panjang gue nambah panas keadaan. Gue nggak ngeluh, gue sadar kalau itu adalah ujian kesabaran bagi gue.
Selama ini gue berhasil nyembunyiin hal ini dari Nanda. Selama gue pulang bareng Abi, abang gue nggak pernah marah ataupun nanyain gue dari mana aja.
"Lo belum jujur sama Nanda soal pekerjaan ini?" Tanya Abi setelah gue selesai. Gue geleng, gue rasa itu udah cukup jadi jawabannya.
"Mau bilang kapan?" Tanyanya lagi.
Sebenernya gue mau bilang dari dulu. Tapi gue takut kalau Nanda marah atau lebih parah dia bakal nyalahin dirinya sendiri.
Gue mengangkat bahu tanda tak tahu.
"Lo lagi puasa ngomong ya nda?" Tanyanya lagi yang buat dahi gue kerut.
"Enggak lah"
"Abisnya gue tanya dari tadi lo jawabnya pake isyarat mulu." Katanya.
"Enggak, gue cuma bingung aja ngomong apa enggak? Menurut lo gimana?" tanya gue.
"Kalau menurut gue sih mending lo ngomong jujur ke Nanda. Daripada Nanda tahu dari orang lain, dan itu pasti bakal lebih buat dia kecewa." Jawabnya.
Bener juga sih, tapi...
"Udah, kayaknya lo harus hapus kata 'tapi' dari kamus lo deh. Karena kata itu bakal buat lo nggak pernah bisa jalan." Ujarnya.
"Gimana ceritanya? Orang jalan itu pake kaki bukan kata tapi." Ucap gue.
"Kebanyakan kata tapi itu tandanya lo nggak yakin, dan kalau lo nggak yakin gimana mau jalan?" Katanya lagi.
Huft... Gue cuma bisa ngehela napas.
Abi selalu punya jawaban atas semua pertanyaan gue. Dan gue pasti selalu kena skak kalau udah ngomong sama dia.
"Udah ah, ayo pulang!" Pinta gue.
"Thanks ya Bi" Ucap gue sopan dong sama orang yang udah mau anter gue balik.
-
-
-
-
-
Seperti biasa, Nanda belum pulang. Suasana rumah sangat sepi. Emak, gue udah ngira kalau beliau bakal ada di ladang.Nggak butuh waktu lama gue udah ganti pakaian dan nyusul emak ke ladang dan benar emak ada di ladang.
Gue bukan anak yang manja, apalagi jijik sama lumpur tanah dan suasana ladang. Sekali gue main kotor yaudah, nggak ada masalah.
Setelah selesai kita berdua istirahat disebuah gubuk yang cuma ada atapnya sembari makan makanan made in emak.
"Kamu sama abang kamu udah kelas berapa sayang?" Tanya emak.
"12 mak, bentar lagi lulusan kok."
"Alhamdulillah" Katanya tapi wajahnya tidak menunjukkan kebahagiaan.
"Maaf ya nda" Ucap emak yang sukses buat gue bingung.
"Maaf kenapa mak?"
"Karena emak nggak bisa ngelanjutin kalian ke tingkat selanjutnya. Emak nggak sanggup biayain kuliah apalagi dua sekaligus." Jawab emak dengan mata berlinang.
"Mak...Jangan ngomong gitu ah. Manda nggak papa kok. Emak jangan mikirin itu ya." Ucap gue menahan tangis.
-
-
-
-
-
Malamnya, gue duduk disamping Nanda yang lagi asik nonton tv, kelihatan banget sih kalau abang gue satu ini kecapean."Bang...." Panggil gue.
"Iya, apaan?" Jawabnya.
"Besok abang mau mau lanjut sekolah dimana?" Tanya gue rada rerbata-bata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hijrah With You
Teen FictionHijrah itu mudah, yang susah istiqomah. Namun bersamamu aku mampu melewatinya. "Dulu gue belum terlalu paham arti berhijrah. Hampir gue jauh dari sang kuasa, hingga akhirnya Allah mengirim seseorang untuk membantu gue berhijrah."